Jakarta (Greeners) – Sebanyak 12 warga Sumatra Selatan (Sumsel) menggugat tiga perusahaan terkait kasus kabut asap yang menahun. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (SBA Wood Industries).
Para penggugat mendapatkan dukungan dari koalisi masyarakat sipil dan organisasi lingkungan bernama Inisiasi Sumatra Selatan Penggugat Asap (ISSPA). Mereka menuntut ganti rugi atas hilangnya hak mereka terhadap lingkungan hidup yang sehat. Penggugat juga meminta pemulihan lingkungan akibat kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang telah merugikan mereka secara materiil maupun immateriil.
Para penggugat merupakan warga Sumsel yang bermukim atau berasal dari beberapa daerah. Di antaranya Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), kemudian Desa Lebung Itam, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten OKI dan Kota Palembang. Mereka memiliki latar belakang yang beragam, mulai dari petani, penyadap karet, nelayan, peternak kerbau rawa, ibu rumah tangga, pekerja lepas, hingga pegiat lingkungan.
Bertahun-tahun Jadi Korban Kabut Asap
Salah satu penggugat dari Desa Lebung Itam, Pralensa, mengungkapkan bahwa dirinya telah menjadi korban kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan selama bertahun-tahun. Pada tahun lalu, rumah walet miliknya juga terbakar.
“Kami datang hari ini untuk menggugat tiga perusahaan yang kami anggap membawa dampak kabut asap yang kami rasakan hampir setiap kemarau. Lewat gugatan ini, kami ingin memberi peringatan bahwa apa yang perusahaan lakukan itu salah. Sebab, telah merusak lingkungan dan ruang kehidupan kami, serta menimbulkan kabut asap,” ujar Pralensa dalam keterangan resminya, Kamis (29/8).
BACA JUGA: Kian Meluas, Area Karhutla Capai 262 Ribu Hektare
Para tergugat itu secara jelas telah mengakibatkan asap yang berdampak buruk bagi kesehatan ekosistem dan manusia, baik fisik maupun mental. Beberapa dampak yang dirasakan para penggugat termasuk dada sesak dan pernapasan terganggu akibat infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Pekerjaan sehari-hari mereka seperti bertani, menyadap karet, mencari ikan, atau bertukang menjadi terganggu. Biaya menanam karet dan memelihara ternak meningkat, sedangkan produktivitasnya menurun. Kegiatan seperti kuliah, ibadah, dan kehidupan sosial lainnya juga terganggu, memicu rasa cemas dan tertekan.
Rusaknya Lahan Gambut Picu Karhutla
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba mengatakan bahwa konsesi PT BMH, PT BAP, dan PT SBA Wood Industries berada pada lanskap gambut. Kawasan itu memiliki peran penting untuk menyimpan karbon.
“Rusaknya gambut di lanskap tersebut, yang lantas memicu karhutla dan kabut asap terus-menerus, tentu sangat memperburuk krisis iklim. Peningkatan emisi karbon akibat karhutla dan kabut asap juga berkontribusi menghambat upaya penurunan emisi. Bahkan, membuat gagalnya pencapaian target iklim oleh pemerintah Indonesia,” ujar Belgis.
Karhutla yang terjadi di wilayah izin para tergugat juga berkontribusi signifikan memicu kabut asap di Palembang pada 2015, 2019, dan 2023. Luas areal terbakar dalam konsesi para tergugat pada 2015-2020 seluas 254.787 hektare—setara hampir empat kali luas DKI Jakarta. Ketiga perusahaan ini pun pernah terkena sanksi hingga denda akibat karhutla berulang. Namun, hingga tahun lalu, konsesi ketiganya ternyata masih terus terbakar.
Khawatir terhadap Kesehatan Anak
Selain itu, penggugat lainnya, Marda Ellius juga mengungkapkan keresahannya terhadap kabut asap ini. Ia merasa tertekan karena khawatir dengan kesehatan anak dan diri sendiri.
“Cuaca panas karena kabut asap membuat suhu tubuh kami meningkat, badan gatal-gatal, juga batuk-batuk. Ekonomi keluarga terganggu karena asap menghalangi kami untuk menyadap karet atau menangkap ikan. Saya memutuskan menjadi salah satu penggugat dengan harapan perusahaan dan pemerintah lebih memikirkan lingkungan hidup,” kata Marda.
BACA JUGA: Jelang Kemarau, Pengendalian Karhutla tak Boleh Kendur
Ipan Widodo dari LBH Palembang, yang juga kuasa hukum dan Ketua Persatuan Advokat Dampak Krisis Ekologi (PADEK), mengawal kasus ini. Ia menyatakan bahwa ini adalah pertama kalinya masyarakat Sumatra Selatan menuntut pertanggung jawaban mutlak atau strict liability, dari badan hukum atas kerugian akibat pencemaran atau perusakan lingkungan.
“Perjuangan ini akan jadi babak baru dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia dan gaya baru perjuangan rakyat melawan krisis iklim,” ujar Ipan.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia