100 Hari Kerja Prabowo, Transisi Energi Terbarukan Masih Jalan di Tempat

Reading time: 3 menit
Koalisi masyarakat sipil menilai transisi energi terbarukan Indonesia stagnan selama 100 hari pemerintahan Prabowo. Foto: Freepik
Koalisi masyarakat sipil menilai transisi energi terbarukan Indonesia stagnan selama 100 hari pemerintahan Prabowo. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan menilai tidak ada kemajuan signifikan dalam transisi energi terbarukan Indonesia selama 100 hari pertama kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Koalisi menilai sejumlah aspek dalam kebijakan transisi energi—yang mengacu pada rekomendasi delapan Quick Wins yang diserahkan kepada Tim Pertumbuhan 8% Prabowo-Gibran—bahkan mengalami kemunduran.

Kemunduran tersebut terlihat jelas dari keputusan Presiden Prabowo yang lebih memprioritaskan energi baru seperti hilirisasi batu bara, nuklir, teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), dan gas.

Padahal, dalam Quick Wins 2, koalisi telah merekomendasikan agar pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut. Namun, alih-alih mengevaluasi, pemerintah malah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional. Keppres tersebut meminta perbankan nasional untuk membiayai proyek hilirisasi.

Menurut Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, langkah pemerintah mengintegerasikan energi baru dan energi fosil sebagai bagian dari kebijakan strategis adalah suatu kemunduran.

“Karena kami justru merekomendasikan agar menghindari sumber energi yang problematis seperti nuklir. Kita tahu itu berisiko tinggi dan berbiaya mahal, tapi pemerintah fokus mau membangun lima gigawatt (GW) PLTN hingga 2040, dan ada 29 lokasi PLTN usulan Dewan Energi Nasional (DEN). Ini jelas menjadi rapor merah kebijakan energi dalam 100 hari pertama,” kata Bhima lewat keterangan tertulisnya, Kamis (23/1).

BACA JUGA: Masyarakat Sipil Tagih DPR Dorong Kebijakan Transisi Energi

Koalisi juga menyoroti ketidakselarasan di dalam pemerintahan terkait rencana pensiun dini PLTU. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil, Presiden Prabowo menyatakan komitmen penghentian seluruh pembangkit listrik bertenaga fosil dalam 15 tahun ke depan.

Namun, komitmen pensiun dini PLTU yang menekankan penghentian total (phase-out) tersebut kini bergeser menjadi pengurangan kapasitas secara bertahap (phase-down).

Kaji Ulang Co-Firing

Peninjauan ulang program bahan bakar nabati (biofuel), seperti biodiesel 50% (B50) dan lebih tinggi, serta bioetanol 10%, juga tidak berjalan. Biofuel menjadi sorotan koalisi karena berisiko menciptakan dampak negatif jangka panjang. Hal ini juga bertolak belakang dengan komitmen global Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Namun, pemerintah gencar mempromosikan pembukaan lahan baru untuk pangan dan energi tanpa dasar kajian yang memadai.

Koalisi juga mendorong evaluasi program co-firing biomassa di PLTU. Sebab, berisiko besar menjadi solusi palsu yang hanya memperpanjang ketergantungan pada PLTU batu bara.

Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, mengatakan bahwa pemerintah perlu segera mengkaji ulang pelaksanaan co-firing. Hal ini penting agar target pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan inklusif dapat tercapai, tanpa menjadi beban bagi sektor hutan.

“Kami juga melihat implementasi co-firing penuh kecurangan, salah satunya meningkatkan tonase biomassa dengan dicampur air sebelum dibakar di PLTU. Praktik ini jelas merugikan negara dan membohongi publik,” kata Anggi.

ESG Harus Menjadi Prioritas

Quick wins lain koalisi rekomendasikan adalah penerapan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social and Governance/ESG). Hal ini sebagai persyaratan untuk mendapatkan perizinan investasi, demi menjamin inklusi sosial dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Namun, pemerintah belum menunjukkan langkah konkret untuk mengimplementasikan hal tersebut secara resmi. Meskipun demikian, Presiden Prabowo telah meminta investor Amerika Serikat yang berinvestasi di Indonesia untuk menerapkan ESG.

“Penguatan dan implementasi prinsip dan standar ESG seharusnya menjadi prioritas dan menjadi bagian dari sistem pertahanan negara dari risiko dampak sosial dan lingkungan saat ini maupun dalam jangka panjang,” ujar Indra Sari Wardhani, Plt Direktur Program Koaksi Indonesia.

BACA JUGA: PT PLN dan HDF Energi Jalin Kerja Sama untuk Capai NZE 2060

Selanjutnya, koalisi juga belum melihat kemajuan yang berarti terkait quick wins insentif pembiayaan peralihan ke energi terbarukan bagi pemberdayaan UMKM dan koperasi. Meskipun Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia berkomitmen mendukung UMKM dan koperasi dalam pelaksanaan transisi energi, implementasinya masih jauh dari memadai.

Koalisi juga mengkritisi upaya pencapaian target Net Zero Emission (NZE) melalui implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang belum juga terealisasi. Pasalnya, pemerintah masih memberikan Sertifikat Pengurangan Emisi-Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) bagi proyek-proyek bahan bakar fosil, seperti PLTGU.

Koalisi mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan NEK. Mereka juga meminta agar proyek-proyek yang diperdagangkan di bursa karbon benar-benar terbukti menurunkan emisi GRK secara signifikan, bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top