Jakarta (Greeners) – Sebagian besar penduduk Kampung Merasa, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, memiliki kebun pribadi berisi pohon kakao. Kebun tersebut menjadi sumber penghasilan utama mereka. Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) turut berperan dalam melestarikan komoditas ini dengan menjembatani petani untuk meningkatkan kualitas dan harga kakao khas Kampung Merasa.
Sejak tahun 1980, penduduk setempat telah mengelola kebun kakao. Satu keluarga biasanya memiliki satu hingga dua hektare. Pohon kakao tumbuh dengan sistem agroforestry, mengombinasikan berbagai jenis tanaman produktif di satu lahan.
Bagian paling berharga dari buah kakao adalah bijinya, yang dapat diolah menjadi cokelat. Saat panen, petani umumnya menjemur biji kakao dan menjualnya dalam bentuk kering. Namun, biji kakao yang dijual dalam keadaan ini memiliki rasa dan aroma yang seragam, terlepas dari lokasi tumbuhnya.
Juru bicara YKAN, Maya Patriani menjelaskan ada tiga jenis biji kakao yang dapat masuk ke dalam pasaran. Di antaranya biji kakao basah, biji kakao kering asalan, dan biji kakao fermentasi. Masing-masing menawarkan harga yang berbeda.
BACA JUGA: Kakao, Berbagi Kasih Sayang dengan Kelezatannya
Petani biasanya menjual biji kakao basah dan kering asalan. Setelah memanen, mereka menjemur biji kakao secara alami selama sekitar lima hari, tergantung cuaca. Proses ini menghasilkan biji kakao kering asalan. Maya menambahkan, harga jual bisa naik dengan cara menyelipkan proses fermentasi sebelum biji tersebut dikeringkan.
“Fermentasi dapat mengeluarkan aroma dan cita rasa kakao secara maksimal, memungkinkan biji kakao untuk memasuki pasar premium dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada biji kakao kering asalan. Namun, tidak semua petani dapat menemukan pembeli yang menghargai kualitas tersebut,” ujar Maya lewat keterangan tertulisnya, Rabu (25/9).
Oleh karena itu, YKAN mengenali dan menjembatani petani dengan pembeli yang menghargai kualitas serta mengikuti harga kakao di pasar global.
Populerkan Kakao ke Kota Besar
Popularitas biji kakao Kampung Merasa telah meroket ketika artisan cokelat terbesar di Indonesia, Pipiltin Cocoa, bersedia menjadi pembeli. Dalam rangka mendukung kampanye ‘Untukmu Bumiku’, Pipiltin Cocoa hanya memproduksi olahan cokelat dari biji kakao fermentasi.
Kerja sama tersebut dimulai ketika para petani mengirimkan sampel biji kakao mereka ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember untuk seleksi nasional. Meskipun Kampung Merasa tidak menang, mereka berhasil masuk delapan besar, yang menjadi langkah awal penting.
Menurut Maya, kesuksesan ini menjadi pemantik luar biasa di lapangan. Masyarakat Kampung Merasa mulai menyadari bahwa kakao bisa begitu menarik dan memainkan peran penting, sehingga mereka bersama-sama belajar untuk meningkatkan kualitas. Hal ini juga menjadi modal bagi mereka untuk menawarkan kakao Kampung Merasa ke Pipiltin Cocoa.
BACA JUGA: Peduli Hutan, Produsen Cokelat Terbesar di Dunia Ini Gunakan Kakao Berkelanjutan
Januari 2022 menjadi momen yang menarik ketika Pipiltin Cocoa merilis chocolate bar Kampung Merasa 74%, cokelat single origin asli Indonesia keenam.
“Sejak itu, semua pintu kanal seperti terbuka. Tanpa kami mencari, orang datang ke Kampung Merasa. Pemkab Berau menjadikan kakao sebagai komoditas unggulan yang harus masyarakat kembangkan,” kata Maya.
Maya juga menyoroti bahwa Kampung Merasa kini menjadi rujukan bagi desa-desa lain dalam meningkatkan kualitas biji kakao. Kabupaten-kabupaten lain bahkan mengunjungi Kampung Merasa untuk mempelajari proses dari hulu ke hilir, mulai dari pengelolaan kebun hingga proses bean to bar. Upaya ini tidak hanya meningkatkan perekonomian lokal, tetapi juga mengukuhkan Kampung Merasa sebagai pusat kakao berkualitas di Indonesia.
YKAN Bantu Petani Pahami Keinginan Pasar
Sebelumnya, YKAN juga mengadakan kegiatan pertama di Kampung Merasa, yaitu Pelatihan Internal Controlling System (ICS) Kakao. Pelatihan ini berfungsi sebagai alat untuk membantu petani memahami apa yang pasar inginkan, serta saling mengingatkan untuk mematuhi standar agar dapat menembus pasar premium.
Para petani yang menjadi alumni pelatihan ICS kemudian membentuk kelompok secara sukarela dengan nama ‘Kelompok ICS Kakao Pesete Tawai’, yang berarti ‘sandaran harapan’. Kelompok ini memiliki visi untuk menjadi sandaran hidup di masa depan.
Pesete Tawai didorong untuk menjadi pihak yang paling memahami standar biji kakao premium. Sehingga, mereka dapat menjadi tiket masuk menuju pasar artisan. Kelompok ini membuka diri bagi petani lain di kampung dengan menerima biji kakao basah dari siapa pun. Lalu, meningkatkan mutu biji tersebut melalui proses fermentasi dan memasarkan hasilnya.
Kelompok ini mengelola organisasi dengan profesional, membagi pekerjaan menjadi tiga divisi. Pertama, divisi fermentasi yang bertugas menjaring biji basah, melakukan fermentasi, dan mengirimkan biji tersebut kepada artisan. Kedua, divisi budi daya yang membantu petani lain memperbaiki aspek produksi kebun agar lebih maksimal. Ketiga, divisi produk turunan yang menghasilkan berbagai produk siap santap untuk dipasarkan di kampung dan kabupaten.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia