Jakarta (Greeners) – Nusa Tenggara Timur tidak hanya memiliki hamparan sabana yang luas dan pemandangan bawah laut yang indah, namun juga kekayaan budaya berupa kain tenun ikat yang memikat. Untuk mengapresiasi keindahan kain tenun ikat, khususnya dari Sumba Timur, Yayasan Sekar Kawung menyelenggarakan pameran seni kain tenun ikat Sumba Timur pada tanggal 1-8 Oktober 2017 di kawasan Kota Tua Jakarta.
Pameran bertajuk “Karya Adiluhung Pendorong Ekonomi Lestari: Menguak Spiritualitas dan Simbolisme di Balik Seni Tenun Ikat Pewarna Alam Sumba Timur” ini merupakan kerja sama antara Yayasan Sekar Kawung dengan kelompok seniman tenun Paluanda Lama Hamu yang berasal dari Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Melalui pameran ini, Yayasan Sekar Kawung ingin membuktikan bahwa keindahan tenun ikat juga dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di Indonesia.
“Tenun ikat Sumba dapat menjadi fondasi sekaligus pendorong pertumbuhan ekonomi lestari di Indonesia karena dari awal hingga akhir proses pembuatan tenun ikat menggunakan bahan-bahan alami dari alam. Selain ramah lingkungan, pembuatan tenun ikat Sumba juga melibatkan masyarakat lokal dan kelompok ekonomi masyarakat setempat,” papar Ketua Yayasan Sanggar Kawung, Chandra Kirana, saat ditemui oleh Greeners di lokasi pameran, Jakarta, Minggu (01/10).
Menurut Chandra, seperti halnya lukisan, setiap helai kain tenun mengekspresikan kreativitas, imajinasi, juga suasana jiwa sang seniman tenun. Ada cerita unik tersendiri dalam setiap helai kain tenun.
“Seluruh kain tenun ikat Sumba Timur dibuat berdasarkan suara hati dari para penenunnya. Maka tak heran jika di kain tenun tersebut terdapat begitu banyak simbol dan warna yang menceritakan sesuatu. Bagi masyarakat Sumba sendiri, kain tenun ikat berfungsi sebagai pencerita sejarah, penghantar doa, dan media untuk menyampaikan nilai-nilai filosofis kehidupan. Itulah yang membuat tenun ikat Sumba memiliki nilai seni tinggi dan bernilai jual tinggi pula,” ungkap Chandra.
Di tempat yang sama, Menteri Lingkungan Hidup era Kabinet Pembangunan III Profesor Emil Salim mengatakan bahwa seni tenun ikat Sumba Timur perlu terus dilestarikan. Ia menyatakan bahwa dirinya tidak ingin melihat tenun ikat Sumba mati di rumah sendiri karena tergerus komersialisasi.
“Untuk melestarikan kain tenun ikat Sumba, alam dan kreativitas para penenun adalah dua hal yang perlu dijaga dengan baik. Mengapa demikian, karena alam telah memberikan tanaman kapas untuk diolah menjadi kain dan tanaman lainnya untuk dijadikan pewarna. Selain itu, kreativitas para penenun juga perlu dijaga karena mereka dapat menuangkan keindahan alam pada sehelai kain tenun ikat,” ujar Emil.
Ia pun berharap kain tenun tidak berubah menjadi benda komersial yang diproduksi secara massal yang pada akhirnya akan membuat para seniman tenun Sumba mengerjakan tenun ikat tidak dengan hati dan meninggalkan nilai-nilai seni dari leluhur.
Sebagai informasi, kain tenun ikat khas Sumba Timur sepenuhnya terbuat dari bahan-bahan alami dan dibuat dengan tangan. Mulai dari proses pengumpulan bahan, pewarnaan, hingga proses akhir, seluruhnya dilakukan secara manual oleh para penenun Sumba Timur.
Kain tenun ikat khas sumba terbuat dari serat kapas dan diwarnai oleh pewarna alami yang terbuat dari tumbuhan indigo, akar mengkudu, dan aneka tumbuhan lainnya. Satu helai kain tenun ini perlu dikerjakan oleh 3 hingga 10 orang, dan untuk satu kain tenun berukuran besar membutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk diselesaikan.
Penulis: Anggi Rizky Firdhani