Jakarta (Greeners) – Hilangnya keanekaragaman hayati berdampak negatif pada ekosistem bumi karena mengancam kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan manusia. Kondisi ini semakin memburuk dari waktu ke waktu akibat pemanfaatan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan dan bersifat irreversible.
Hilangnya keanekaragaman hayati ini menjadi salah satu masalah serius global dan fokus dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Melalui agenda Presidensi G20, harapannya mampu membangun ekosistem penelitian dan inovasi untuk merespon permasalahan ini.
Dalam keterangannya, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko mengatakan, semakin memburuknya kondisi keanekaragaman hayati saat ini, menuntut semua pihak bertanggung jawab.
“Penduduk bumi perlu bertanggung jawab untuk mengambil sikap dalam memastikan penggunaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan. Serta mencari solusi untuk menekan hilangnya keanekaragaman hayati,” kata Handoko baru-baru ini.
Sebagai negara berlahan gambut tropis terbesar di dunia, Indonesia telah melakukan konservasi dan restorasi dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Indonesia, sambungnya menjadi contoh bagi dunia untuk memulihkan 3,6 juta hektare ekosistem lahan gambut pada tahun 2020. Pemulihan tersebut melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta dan masyarakat.
Namun, ia menyebut riset dan inovasi dalam ilmu bioteknologi yang lebih maju masih perlu. “Kondisi ini juga dirasakan oleh negara anggota G20 lainnya. Sehingga perlu inisiatif dalam pengembangan kapasitas dan kolaborasi penelitian untuk berbagi pengetahuan serta transfer teknologi antar negara,” ungkapnya.
Handoko berharap, melalui gelaran G20, riset dan inovasi dapat memberikan kontribusi ilmiah. Caranya melalui inisiatif penelitian, penyusunan skema, kolaborasi dan inovasi untuk memperkaya kebijakan global lingkungan.
Kolaborasi Riset Keanekaragaman Hayati
Untuk mendukung hal itu digelar forum Research and Innovation Initiative Gathering (RIIG). Forum ini mengusung skema sharing infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan untuk mengoptimalkan upaya dalam menjaga keanekaragaman hayati dan pemanfaatannya untuk ekonomi hijau dan biru.
Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi, Agus Haryono sekaligus menjabat sebagai Chair pada perhelatan RIIG mengatakan, saat ini terdapat beberapa kelompok atau institusi riset di bidang biodiversitas.
Kelompok tersebut memiliki beragam misi dan skema kolaborasi, seperti Group of Senior Officials on Global Research Infrastructure (GSO on GRI), Global Research Collaboration for Infectious Diseases Preparedness (GLOPID-R). Ada pula European Research Infrastructure (ERI), Global Biodiversity Information Facility (GBIF), dan ASEAN Center For Biodiversity (ACB).
“Namun institusi riset tersebut tidak secara khusus berfokus pada sharing infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan untuk konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan,” ujar Agus.
Oleh karena itu, ungkap Agus, RIIG mengusulkan Global Biodiversity Research and Innovation Platform (GBRIP). Menurutnya ini akan menjadi sebuah platform kolaborasi yang memberikan peluang kepada negara maju dan negara berkembang untuk melaksanakan tanggung jawab dalam konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, serta pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan merata.
RIIG juga merupakan peluang bagi Indonesia melalui BRIN, untuk menunjukan kapasitas kepemimpinan dalam menginisiasi program riset, inovasi, dan kelestarian lingkungan di tingkat internasional. Dikatakan Agus, infrastruktur, fasilitas, dan pendanaan merupakan faktor penting dalam keberhasilan riset dan inovasi.
“Namun, ketersediaan infrastruktur dan fasilitas penelitian bervariasi di tiap negara. Sehingga perlu upaya agar celah kebutuhan riset dapat terkikis dan equal untuk seluruh negara dalam menghadapi tantangan global,” tutur Agus.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin