Jakarta (Greeners) – Upaya pelestarian satwa liar, khususnya di Indonesia, terus menemui berbagai tantangan. Tidak hanya pada penegakkan hukum, penyampaian informasi mengenai pentingnya peran satwa liar di alam pun belum sepenuhnya diterima secara luas, termasuk di kalangan pemuda.
“Peran pemuda sangatlah penting. Mereka punya kekuatan sosial media dan aktivitas yang sangat besar. Kalau dari sekarang kita bekali dengan pengetahuan tentang pentingnya menjaga dan mengharmoniskan alam dengan pembangunan, mungkin dapat menyelamatkan satwa yang saat ini sedang dalam status ‘lampu merah’,” ujar Jatna Supriatna dalam Simposium Konservasi Mamalia Besar Indonesia di kampus Universitas Nasional, Jakarta, Selasa (16/08).
Peneliti yang pernah menjadi presiden di South East Asian Primatological Association tahun 2006 ini menjelaskan bahwa Indonesia paling banyak memiliki spesies mamalia, namun paling banyak pula satwanya dengan status terancam. Ia menyontohkan, pada tahun 1973, dirinya masih merasakan adanya harimau jawa, tetapi saat ini spesies tersebut sudah punah.
“Mamalia ini adalah aset kita. Kalau sampai harimau sumatera punah juga, rasanya tidak etis,” katanya menambahkan.
Hariyo Tabah Wibisono dari Flora Fauna International (FFI) yang turut hadir untuk membahas materi bertajuk “Pengenalan dan Konservasi Harimau Sumatera” menjelaskan, ancaman terhadap populasi harimau dan habitatnya diantaranya perburuan satwa langka, konflik dengan manusia yang biasanya berakhir pada kematian harimau, pembukaan lahan, hingga kebakaran hutan.
Hariyo memaparkan bahwa saat ini harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) hanya ditemukan di Sumatera, Indonesia. Padahal sebelumnya, populasi harimau sumatera tersebar hingga ke beberapa negara di wilayah Asia.
“Saat ini hanya sekitar tujuh persen saja yang tersisa. Status terancam punah terhadap harimau sumatera berlaku global karena kini hanya ada di Sumatera,” katanya.
Selain harimau, badak di Indonesia juga menyandang status terancam punah. Haerudin R Sadjuddin dari Yayasan Badak Indonesia mengatakan bahwa hasil penelitian pada tanggal 27 Juli 2016 menyatakan badak jawa hanya tinggal 62 ekor. Sementara populasi badak sumatera dalam rentang waktu 1986 hingga 2007 telah menurun hingga 82 persen.
“Setelah lebih dari dua dekade, delapan kantong populasi badak sumatera tidak ditemukan jejaknya lagi di Sumatera,” katanya menambahkan.
Koordinator Program Orangutan WWF Indonesia Chairul Saleh menyatakan, perburuan dan perdagangan liar adalah persoalan moral. Untuk itu, ia mendukung agar revisi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya dapat segera diselesaikan.
Ia pun mengimbau agar publik turut berpartisipasi dalam penyadaran pelestarian satwa liar termasuk dengan tidak membeli satwa liar dan produk-produk satwa liar.
“Mencintai tidak harus memiliki. Kalau cinta kepada satwa, biarkan dia hidup liar di habitat dan ekosistemnya dan menjalankan perannya di alam,” ujarnya.
Sebagai informasi, Fakultas Biologi Universitas Nasional menggelar Simposium Konservasi Mamalia Besar Indonesia pada Selasa (16/08). Simposium yang mengangkat tema “Memaknai Kemerdekaan Dengan Memerdekakan Kuartet Mamalia Besar Indonesia” ini bertujuan untuk menggelorakan semangat perjuangan masyarakat dalam menyelamatkan, menjaga dan melestarikan populasi kuartet mamalia besar Indonesia, yaitu harimau, badak, gajah dan orangutan.
Dekan Fakultas Biologi Universitas Nasional Imran Said mengungkapkan bahwa kemerdekaan bisa dihubungkan dengan alam. “Kemerdekaan kita juga bisa dilekatkan dengan alam karena alam berdampak pada kemerdekaan spesies kita. Jangan sampai mereka terusir lagi dari tempat tinggal mereka,” pungkasnya.
Penulis: Renty Hutahaean