Jakarta (Greeners) – Rantai produksi sampah tak pernah terputus seiring konsumsi yang terus terjadi di bumi ini. Hal inilah yang membuat Ernest Layman menginisiasi sebuah gerakan hijau. Tujuannya tak lain untuk memperbaiki proses pengelolaan sampah, memutus rantai dan memaksimalkan nilai limbah. Melalui platform Rekosistem yang ia bangun sejak tahun 2017, gerakan pengelolaan sampahnya ia buat sambil mengedukasi mitra kerjanya dan masyarakat luas.
Sebagai platform digital, berdirinya Rekosistem memiliki tujuan untuk dapat mengakselerasi dan meningkatkan edukasi pemahaman terkait mengelola sampah. Tak hanya itu, platform ini juga dapat memastikan pemberian akses daur ulang dengan menjembatani antara pihak penghasil dengan mitra pengelola sampah. Kesadaran Ernest akan pengelolaan sampah rupanya tak ujug-ujug datang begitu saja.
Ketertarikan Ernest ternyata bermula dari pendidikan yang ia terima selama berada di bangku kuliah. Berbagai edukasi dan penyuluhan yang ia terima tentang lingkungan hidup, khususnya sampah lambat laun menyadarkan gaya hidupnya. Bahkan, lulusan teknik industri Universitas Katolik Parahyangan ini juga sempat mendapat mata kuliah tentang lingkungan hidup. Hal inilah yang akhirnya mengubah cara pandangnya tentang sampah.
“Poinnya yang saya tangkap waktu itu yakni bagaimana agar industri tak hanya memikirkan nilai ekonomi tapi tripple bottom line, antara profit, people dan planet. Itu semangat yang ingin saya tularkan ke masyarakat,” katanya dalam diskusi virtual Bijak Kelola Sampah saat Pandemi, Festival Pesona Kopi Agroforestry 2022, di Jakarta, Selasa (26/1).
Kahiji Berubah Menjadi Rekosistem
Akhirnya, pada tahun 2018 ia berhasil membangun Rekosistem yang awalnya bernama Khazanah Hijau Indonesia (Kahiji) di Bandung. Setelah berubah menjadi Rekosistem, platform ini beroperasi di Jakarta dan Surabaya. Dalam sehari, Ernest mengaku dapat mengelola hingga 35 ton sampah yang ia bedakan antara sampah organik, sampah anorganik dan sampah residu.
Daur ulang sampah organik ia lakukan dengan bermitra dengan perusahaan atau komunitas yang bisa mengelola sampah organik. Misalnya melalui budi daya maggot. Sementara, pengelolaan sampah anorganik ia lakukan bekerja sama dengan lapak atau bank sampah di masing-masing area melalui drop point. Khusus untuk sampah residu biasa ia lakukan dengan mitra yang bisa menghasilkan semen atau karbon padat dan cair.
“Cara kerjanya cukup sederhana. Kami platform yang menghubungkan. Jadi kalau orang punya sampah lalu pakai platform kita maka akan diangkut oleh mitra angkut. Kemudian didistribusikan ke pihak pengelola pada masing-masing jenis sampah,” ungkapnya.
Dalam menjalankan Rekosistem, Ernest mencoba menularkan edukasi terkait pengelolaan sampah dan limbah dari hulu (masyarakat), petugas pengelolaan sampah, pengangkut hingga para pemilah sampah. “Tak hanya mengedukasi, tapi kita pastikan produktivitas dan pendapatannya meningkat. Misal dari yang semula bisa menghasilkan 50 ton menjadi 100 ton per hari,” imbuhnya.
Platform ini juga memungkinkan semua lapisan dapat memilah sampah sebelum akhirnya masuk proses daur ulang. Menariknya, untuk meningkatkan partisipasi dalam proses memilah, mereka bisa mendapatkan reward sesuai dengan jumlah sampah yang masyarakat kelola.
Sampah Meningkat Selama Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 menimbulkan limbah medis yang berbahaya. Oleh karenanya, butuh pengolahan yang tepat agar tak terjadi penularan sekaligus menjamin penyelamatan lingkungan.
Direktur Pengurangan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sinta Saptarina menyatakan, sejak awal pandemi, Menteri LHK telah bersurat ke Satgas Covid-19 untuk mengelola dengan tepat limbah infeksius guna memutus mata rantai penyakit.
Mengacu Surat Edaran Menteri LHK No 2 Tahun 2020 kemudian diperbarui melalui Surat Edaran No 3 Tahun 2021, Sinta menyebut terdapat terdapat dua sumber utama limbah medis, yakni dari rumah sakit dan masyarakat yang melakukan isolasi mandiri. Limbah medis yang berasal dari rumah sakit, tentu harus dipilah terlebih dahulu beragam jenis limbahnya sebelum akhirnya diberikan ke pengelola limbah medis.
Sementara, tantangan justru berasal dari limbah medis yang masyarakat hasilkan saat isolasi mandiri. Perlu koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota/provinsi agar limbah medis itu dapat terkelola dengan tepat.
“Kalau masyarakat agak susah. Makanya ada koordinasi dengan pemda, termasuk edukasi agar limbah yang usai dipakai, bisa masyarakat semprot, gunting, lalu ikat di tempat tertutup,” papar Sinta.
Empat tahun belakangan seiring semakin banyak bermunculan pengelola limbah medis, semakin memudahkan akses untuk mengolah limbah ini. “Dulu hanya ada enam pengelola, tapi sekarang sudah sampai 20 pengelola limbah medis,” pungkasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu