Perilaku Buruk Pariwisata Sumbang Emisi Karbon

Reading time: 2 menit
Wisata alam yang hijau dan berkelanjutan bisa menekan emisi karbon. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Banyaknya sampah dan polusi yang traveller hasilkan menggerakkan hati Jessica Novia untuk menularkan kesadaran akan dampak karbon emisi yang berpengaruh terhadap perubahan iklim. Tak hanya pada para traveller, melalui Bumi Journey, ia turut mengedukasi dan menggandeng para pelaku pariwisata untuk memastikan climate friendly. Sebab gaya travelling seseorang akan memengaruhi baik buruknya lingkungan.

Bumi Journey merupakan platform khusus untuk para traveller yang menghubungkan ke para pelaku pariwisata yang climate friendly. Platform ini Jessica bentuk berdasarkan pengalaman pribadinya dan hobinya sebagai traveller.

“Dulu mungkin saya travelling ya udah travelling biasa seperti banyak orang. Tapi semakin ke sini saya sangat menyadari bahwa gaya travelling kita itu ternyata sangat memengaruhi lingkungan. Kita banyak menghasilkan sampah hingga polusi,” katanya dalam Webinar Pentingnya Pengelolaan Sampah di Destinasi Wisata untuk Mendukung Penerapan Sustainable Tourism di Indonesia, baru-baru ini.

Kesadaran Jessica pun semakin meningkat seiring gemasnya ia melihat para pelaku pariwisata yang tak tegas terhadap para traveller yang mengganggu ekosistem tempat wisata. Misalnya, dengan membiarkan para traveller menginjak terumbu karang. Tak hanya merusak lingkungan, terumbu karang yang rusak berdampak pada turunnya antusiasme para turis untuk datang kembali ke lokasi wisata tersebut.

Terumbu karang, sambungnya dapat menjadi indikator ketidakseimbangan iklim. Perubahan suhu imbas menumpuknya emisi karbon membuat perubahan warna pada terumbu karang atau coral bleaching. Jika terumbu karang mati akan berimbas pada menurunnya kunjungan turis di tempat wisata itu. Hal-hal seperti ini seharusnya menjadi bekal edukasi para pelaku wisata dan traveller.

Industri Pariwisata Berkontribusi Terhadap Emisi Global

Sementara itu menurut Jessica, industri pariwisata berkontribusi sebesar 8 % terhadap emisi global, berupa karbon dioksida hingga metana. Kontribusi sampah dari industri pariwisata dapat berupa plastik hingga sampah food and beverage yang menghasilkan metana. “Polusi dari sampah organik itu menghasilkan metana dan itu jauh berkali lipat dampaknya dibanding karbon dioksida,” ungkapnya.

Pemakaian alat makan dan tumbler para traveller secara sustainable juga mampu mengurangi pemakaian plastik sekali pakai. Begitu pula antisipasi bisa traveller lakukan dengan membawa sampo dan sabun dari rumah. Hal ini dapat meminimalisasi penggunaan penyediaan sampo, sabun di tempat wisata yang menggunakan plastik.

Di sisi lain, dalam sehari, Indonesia mampu menghasilkan 93 juta plastik sedotan atau setara 100 ton karbon emisi. Hal ini juga menjadi perhatian oleh Ketua Umum Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) Agus Pahlevi.

Menurutnya, keseimbangan antara sektor pariwisata, ekonomi dan kreatif, pelestarian alam, tradisi dan budaya merupakan hal penting. “Jangan sampai fokus ke pariwisata, tapi alam, tradisi dan budaya hilang. Inilah yang dimaksud dengan penerapan sustainable tourism di Indonesia,” imbuhnya.

Indonesia Tempati Posisi Terendah

Koordinator Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Tidar Hatsaputra mengungkapkan, berdasarkan Travel and Tourism Competitiveness Indeks (TTCI) tahun 2019, posisi Indonesia cenderung paling rendah dibanding negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Misalnya, dalam hal environmental sustainability dengan perolehan skor 135, health and hygiene dengan skor 102. Selanjutnya, service infrastructure dengan skor 98 dan safety and security dengan skor 80.

Menurut Tidar, Indonesia sudah sebaiknya mulai mengembangkan pariwisata yang berkelanjutan dengan memerhatikan kualitas bukan sekadar kuantitas target jumlah para wisatawan. Sebab, poin inilah yang memengaruhi industri pariwisata bertahan secara berkelanjutan ke depan. “Sebab semakin berkualitas, semakin banyak aktivitas dan para turis akan betah,” ujarnya.

Skor TTCI tahun 2019 merupakan tugas besar yang harus berbagai pihak selesaikan bersama-sama antara para pelaku pariwisata, wisatawan, pihak swasta dan kementerian lain terkait. Pandemi Covid-19 menjadi momen sekaligus titik balik pariwisata di Indonesia untuk bisa berbenah lebih baik. “Kita ingin pariwisata yang berkualitas, resilience terhadap daya kritis, serta sustainable ke depan,” tandasnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Top