Jakarta (Greeners) – Pementasan opera Ine Aya’ di Taman Ismail Marzuki akhir pekan lalu memukau para penonton. Opera musikal ini mereka anggap sarat pesan dan makna untuk perlindungan hutan dan lingkungan.
Salah satu penonton Andys Tiara membagikan pengalaman kali pertamanya menonton opera yang mengangkat tentang isu lingkungan. Khususnya tentang kerusakan hutan dan deforestasi di Kalimantan.
“Seperti yang Miranda bilang, pertunjukan ini merupakan salah satu cara untuk melestarikan warisan budaya yang tidak dinyatakan secara jelas (intangible). Khususnya dari Kalimantan Barat,” katanya usai pementasan.
Ia mengungkap, seni bukan hanya sekadar hiburan tapi sebagai sarana edukasi kepada masyarakat khususnya tentang isu lingkungan.
Sebagai penonton pemula pementasan opera, tak mudah bagi Andys untuk mengerti langsung terkait pesan yang ada di dalamnya. Namun, opera Ine Aya’ memberikan pengalaman yang menarik dan memudahkan penonton untuk memahami alur ceritanya.
“Lantai opera dan screen bulat sangat menarik perhatian. Begitu pula rangkaian teks petunjuk, detail tahun dan terjemahan teks. Sangat membantu untuk memahami jalan cerita yang opera ini angkat,” tuturnya.
Selain itu, Andys mengapresiasi penjiwaan karakter setiap aktor sehingga mampu mengaduk emosi penonton. “Alunan musiknya mampu memunculkan emosi penonton,” ujar dia.
Opera Bawa Pesan untuk Generasi Muda
Senada dengannya, Widita yang juga penonton opera berpandangan, sebagai generasi muda sangat penting mengetahui tradisi leluhur. Ia menyebut, melalui pendekatan seni yang dikolaborasikan dengan seni kekinian maka bisa mendekatkan anak muda pada akar tradisinya.
“Ibaratnya melalui seni opera ini kita kembali ke masa lampau, kita lebih menghargai nilai-nilai tradisi leluhur kita yang kaya,” imbuhnya.
Tradisi tersebut tercermin dari bahasa sastra lisan dan musik yang ada di dalam opera Ine Aya’ ini. “Sungguh pengalaman yang luar biasa kita sebagai generasi muda bisa mengenal dan memaknai kembali,” ungkapnya.
Dalam pementasan “Hen to..” kata itu berulang-ulang terlantun membuka pementasan Ine Aya’ di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (27/8). Lantunan itu tak asal, sebab sebagai kata pembuka dalam Takna’ Lawe’ untuk memohon izin pada alam para roh.
Dalam bahasa Kayan, artinya datang dan dengarkan. Lalu Ine Aya’ muncul dari bawah panggung dan mulai melenggang melantunkan “Hen to” hingga ke atas panggung.
Ine Aya’ merupakan karya yang didasarkan pada dua karya klasik, satu dari budaya timur dan satu lagi dari budaya barat. Epos Kayan Takna’ Lawe’ dan Der Ring of the Nibelung karya Richard Wagner.
Ini berkaitan dengan hilangnya hutan asli Kalimantan yang tak lepas dari pola konsumsi di Eropa. Kolaborasi dua cerita ini menghasilkan benang merah akan pentingnya alam dan sumber daya alam. Dengan jalinan dua sumber alur cerita, opera Ine Aya’ menjembatani budaya, untuk kebaikan bersama: menyelamatkan hutan.
Sukses Gelar Pementasan di Jakarta
Pementasan opera Ine Aya’ yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu menyuguhkan tutur lisan, karya seni dialog antar budaya dari tradisi masyarakat adat Kayan. Pertunjukkan sukses berlangsung dengan pelengkap komposisi musik, teaterikal dan lantunan nyanyian ritual dari Takna’ Lawe’.
Komposer Nursalim Yadi Anugerah menyatakan, di dalam tradisi Takna’ adalah tauladan yang seharusnya generasi mendatang jaga dan wariskan.
“Nilai-nilai dalam tradisi tersebut mengajak kita sebagai penghuni bumi untuk bersama-sama memelihara apa yang kita milki di alam ini. Untuk hari ini dan masa yang akan datang,” katanya.
Ia menyebut, Takna’ Lawe’ memberikan pemahaman bagi manusia untuk menghargai alam, utamanya hutan yang merupakan nafas bagi manusia dan kebudayaan.
Opera ini pentas pertama kali di acara bergengsi, Holland Festival, pada tahun 2021. Tahun ini pertunjukan ini pentas pertama kali di Indonesia di pedalaman Kalimantan, Desa Datah Diaan tempat Masyarakat Adat Kayan Mendalam pada 19 Agustus 2022. Kemudian berlanjut di Pontianak dan Jakarta.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin