Jakarta (Greeners) – Perubahan pola konsumsi masyarakat tengah terjadi seiring meningkatnya penggunaan produk pangan praktis. Melihat permasalahan ini, para penggerak pangan lokal menyerukan pentingnya memanfaatkan sumber pangan lokal untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang pada tubuh.
Direktur Penganekaragaman dan Konsumsi Pangan di Badan Pangan Nasional, Rinna Syawal, menjelaskan bahwa pada tahun 2023, kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia diukur dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) mencapai 94,1, di mana skor ideal berada di angka 100.
Meskipun konsumsi beras dan terigu masih tinggi, ada kekhawatiran terkait rendahnya konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, protein, sayuran, dan buah-buahan, terutama di kalangan generasi muda. Mereka cenderung lebih banyak mengonsumsi makanan dan minuman tinggi gula, garam, dan lemak.
Rinna menekankan bahwa penting bagi berbagai pihak untuk memperhatikan pemanfaatan pangan lokal dalam program perbaikan konsumsi dan gizi masyarakat. Menurutnya, perbaikan konsumsi pangan juga dapat menggerakkan ekonomi setempat, dengan pilihan menu yang memenuhi prinsip gizi seimbang (Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman atau B2SA) serta edukasi bagi masyarakat.
BACA JUGA: Yuk, Kenali 4 Fakta tentang Bahan Makanan Berkelanjutan!
“Itu semua penting untuk meningkatkan pengetahuan dan mengubah perilaku konsumsi pangan yang lebih sehat serta memerankan ekosistem setempat, termasuk kantin sekolah, tenaga didik, orang tua, dan kelompok masyarakat,” ungkap Rinna dalam diskusi IdeaTalks, “Di Balik Dapur Makan Siang Bergizi: Dari Ladang Hingga ke Piring” di Jakarta, Sabtu (28/9).
Inisiatif Pegiat Pangan
Dalam kesempatan ini, beberapa penggerak pangan lokal membagikan pengalaman mereka terkait diversifikasi pangan, praktik pertanian berkelanjutan, dan perlindungan ekosistem. Salah satunya adalah Ismu Widjaya, Penutur Pangan Lokal Kapuas Hulu, Kalimantan Barat sekaligus pemilik restoran ‘Padmi’
Ia memanfaatkan bahan pangan lokal dengan bermitra dengan nelayan, petani, dan peladang. Ismu membeli bahan makanan seperti ikan, ubi, dan kacang panjang dari mereka.
Dengan menerapkan prinsip bisnis yang adil, Ismu memberikan harga yang pantas bagi mitra-mitranya, sehingga masyarakat setempat juga bisa berdaya.
“Kami tidak hanya meningkatkan kualitas produk kami, melainkan juga kehidupan mereka,” imbuhnya.
BACA JUGA: Lentil, Alternatif Sumber Protein Nabati Kaya Gizi
Ismu juga mengungkapkan kekagumannya terhadap kekayaan gastronomi masyarakat Dayak di Kapuas Hulu. Mereka memiliki berbagai tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan masakan berkualitas, seperti tanaman kandis dan daun sekumba yang memberikan rasa asam. Ada pula tanaman sabi yang mirip dengan wasabi.
“Saya sudah dua tahun tinggal di Kapuas Hulu dan sampai detik ini belum juga selesai mengidentifikasi bahan pangan yang ada. Karena itu, saya sangat percaya pada kekuatan bahan pangan lokal. Setiap hidangan bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang cerita dan sejarah yang menyertainya,” ujar Ismu.
Pangan Lokal Menjadi Sumber Gizi
Sementara itu, Stephanie Cindy Wangko, Program Manager Yayasan Dahetok Milah Lestari Papua Selatan, menambahkan bahwa pangan lokal dapat menjadi sumber gizi dan potensi ekonomi melalui produk olahan seperti sagu sep, abon gastor, dan keripik pisang.
Ia berharap masyarakat lokal dapat lebih terlibat dalam penyediaan dan pengolahan makanan bergizi. Kemudian dapat berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil untuk memberdayakan sumber daya alam di kampung.
Cindy juga menyoroti komunitas Suku Marind Anim di Papua Selatan, yang bergantung pada alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, perubahan pola konsumsi dari sagu ke beras akibat interaksi dengan orang luar telah merusak habitat pangan lokal mereka.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia