Ekowisata Pengamatan Burung Migran
Selama akhir minggu, saya beristirahat di Kota Manokwari. Sembari servis kendaraan, saya menyempatkan diri bertemu beberapa kontak yang direkomendasikan kawan. Tanpa sengaja saya bertemu Charles Roring (44), pelaku ekowisata pengamatan burung di Kabupaten Tambrauw, Manokwari, Pegunungan Arfak, dan sekitarnya. Pembicaraan semakin seru ketika saya sampaikan keterhubungan saya dengan kawan-kawan Paguyuban Pengamat Burung Jogja (PPBJ).
“Tambrauw ini memiliki tingkat keanekaragaman hayati satwa yang sangat tinggi. Khususnya burung,” kata Charles. Bahkan Tambrauw ini jadi suaka bagi burung migran yang menjelajah dunia dari Kutub Utara, Eropa, dan Amerika Utara. Seperti burung Red-necked Phalarope (Phalaropus lobatus) yang bahkan sempat menyambangi Kantor Bupati Tambrauw di Distrik Fef, disaksikan sendiri oleh Charles. “Distrik Senopi adalah salah satu wilayah pengamatan burung terbaik, mungkin di seluruh dunia,” simpulnya dari proses diskusi dengan pelaku bisnis pengamatan burung mancanegara.
“Pengamatan burung ini punya potensi ekonomi lebih berharga dari tambang emas sekalipun. Pemerintah stop tebang hutan, Tambrauw ini kasih daya tarik industri pengamatan burung dari seluruh dunia,” tegas Charles yang juga menjelaskan sejarah Perang Dunia ke dua yang menyebabkan Amerika Serikat mampir di Tambrauw untuk menghadang tentara Jepang.
Dari rekam jejak perang dunia itu, Tambrauw sudah masuk ke dalam buku sejarah masyarakat Amerika Serikat. Ditambah lagi, pada sensus 2009 (livescience.com), Amerika Serikat mengidentifikasi 60 juta warganya sebagai pengamat burung. Hanya 24 juta warga bermain basket, dan 23 juta orang bermain baseball. Maka tergambarkanlah potensi wisatawan asing yang bisa jadi target pasar ekowisata pengamatan burung.
Di tengah maraknya perusakan hutan, wisata pengamatan burung menjadi bisnis menjanjikan di masa depan. Syaratnya, Tambrauw menjaga kelestarian hutannya. Perusahaan sawit yang pernah hadir sudah tidak beroperasi lagi, membuat Tambrauw steril dari kebun sawit. Hal itu semakin memantapkan slogan Kabupaten Tambrauw sebagai “Kabupaten Konservasi”.
Dalam menjalankan bisnis ekowisata, Charles mendorong warga lokal untuk selalu berpartisipasi dalam setiap perjalanan pengamatan burung. “Pengamatan burung ini jadi sumber penghasilan yang potensial bagi masyarakat. Mereka pun masih bisa memanfaatkan hutan untuk kehidupan sehari-hari,” tambahnya.
Setelah cukup istirahat, Senin (26/3) sebelum matahari terbit, saya melaju menuju Fef. Rute yang sama terlewati hingga Kebar, Senopi, dan Miyah. Jalan bercabang di Miyah, ke kiri kembali ke Kumurkek, Maybrat, bisa lanjut ke Kota Sorong dengan jarak 318 km. Namun saya ambil jalur kanan untuk ke Sorong melalui Fef, yang jadi ibukota resmi Kabupaten Tambrauw. Sekitar 235 km perjalanan Kota Manokwari – Miyah ditempuh dalam waktu hampir 6 jam.
Dari Charles saya mendapat kontak di Miyah, Paul Warere (47). Sebagai warga lokal, Paul sangat mengenal jenis-jenis burung yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Selain jenis Julang Papua/Taun-taun (Rhyticeros plicatus), spesies endemik di Tambrauw antara lain Kakatua Raja/Palm cockatoo (Probosciger aterrimus) dan burung sejenis nuri besar yang disebut Kamames oleh warga lokal.
“Ya, kemarin dulu tamu pulang kami langsung bersihkan jalan. Para-para*) pengamatan di atas juga su siap,” kata Paul yang sedang berkorespondensi dengan Charles di Manokwari. Paul menjadi mitra tetap Charles untuk pengamatan burung di Miyah dan sekitarnya. Bersama warga lokal lainnya, Paul sudah paham kebutuhan ekowisata pengamatan burung lengkap dengan pelayanan tamu-tamu wisatawan asing yang datang untuk melihat keanekaragaman spesies burung Tambrauw.