Jakarta (Greeners) – Hampir 80 % Kabupaten Tambrauw, Papua Barat merupakan kawasan konservasi dengan berbagai jenis potensi yang ada di dalamnya. Hal itu menjadi ancaman tersendiri atas kekayaan alam dan masyarakat adatnya karena menggiurkan pihak luar untuk mengelolanya.
Penerbitan dua peraturan daerah, yakni Perda Nomor 5 Tahun 2018 dan Perda Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Tambrauw cukup menjadi dasar perlindungan dan penegasan hak-hak dan kearifan lokal masyarakat adat.
Kabupaten Tambrauw merupakan satu dari kabupaten di Provinsi Papua Barat yang hutannya 80-90 % kawasan hutan primer. Tanaman-tanaman unggulan Tambrauw yang banyak ditemukan di kampung-kampung di antaranya kelapa, pisang, kakao, singkong, kasbi, kacang tanah, rica, keladi, nanas serta mangga.
Kondisi itulah yang melatarbelakangi Kaoem Telapak bersama dengan The Samdhana Institute melakukan asesmen dalam ‘Sustainable Livelihood di Kabupaten Tambrauw’. Asesmen ini dilakukan di lima distrik, yakni Distrik Fef: Ibe, Distrik Bikar: Wertam, Distrik Kwoor: Hopmare, Distrik Miyah: Syujak, Ayapokiar dan Yabouw, serta Distrik Salemkai: Klabili. Tujuannya, untuk intervensi terhadap komunitas dan potensi kearifan lokal di dalamnya.
Asesmen ini sebelumnya diikuti oleh kajian pada tahun 2019-2020 untuk melihat ruang hidup yang melibatkan delapan distrik dan 17 kampung di dalamnya. Di dalamnya mereka mencari komunitas dan sumber daya potensial.
Selanjutnya, pada tahun 2021 mereka mendatangi lima distrik yang telah mereka datangi sebelumnya. “Di lima distrik ini kita melihat bagaimana pola-pola livelihood di masing-masing tersebut,” ungkap Pengurus Kaoem Telapak dalam webinar Menggali Cerita Sumber Penghidupan Berkelanjutan Masyarakat Tambrauw, baru-baru ini.
Kondisi Sektor Pertanian dan Wisata yang Masyarakat Adat Geluti
Wisnu melihat ada kecenderungan dan perbedaan pola yang mencolok dalam masyarakat petani dan pesisir. Masyarakat pesisir telah menerapkan pertanian yang lebih intensif dan berkembang. Sedangkan di pegunungan masih cenderung tradisional.
Para petani di Kampung Wertam telah mendapat intervensi dari pihak luar, seperti Sorong sehingga mereka banyak melakukan inovasi. Mereka telah menerapkan menjadi petani bawang, hingga upaya pengolahan kelapa menjadi minyak.
Berbeda halnya dengan masyarakat di Kampung Ibe yang masih bercocok tanam secara konvensional. Mereka kebanyakan menggantungkan hidupnya dengan membuat kerajinan berupa noken, juga beberapa di antara mereka ada yang telah menjadi PNS. Pola konsumsi mereka juga tak jauh dari pemanfaatan beras, sagu, serta ubi-ubian.
Sementara, potensi pengembangan jasa wisata terlihat jelas di Distrik Miyah dan Salemkai. Pasalnya, dua distrik tersebut masih memiliki sumber daya alam yang bagus seperti memiliki bentang alam, gua, air terjun, sungai, flora fauna. Tepatnya di Kampung Klabili juga telah mendapat intervensi komunitas untuk mengelola objek-objek wisata, misalnya berupa pengamatan burung.
Kondisi berbeda terlihat di Distrik Fef yang akan menjadi pusat Ibu Kota Kabupaten Tambrauw. Sejak 6 Januari 2020, Ibu Kota Kabupaten Tambrauw di Sausapor ke Fef. Wisnu mengkhawatirkan pengembangan Fef sebagai Ibu Kota akan berpengaruh terhadap pengelolaan sumber daya yang tak ramah lingkungan. “Misalnya dengan adanya tambang pasir yang sekarang memang sudah ada di sana,” ujarnya.
Kerentanan Kabupaten Tambrauw
Sementara itu, Project Research Livelihood Kaoem Telapak Yoga Sita Kristama menyatakan, analisis kerentanan masih mencolok di lima distrik Kabupaten Tambrauw itu. Misalnya, kekeringan yang kerap menjadi penyebab utama kebakaran hutan, gempa bumi, dan serangan hama serta wabah. Khusus untuk mengobati serangan hama dan wabah, mereka memanfaatkan obat-obatan tradisional dan jampi-jampi.
Beruntung, terdapat livelihood asset dari para perempuan, terutama di Kampung Ibe dan Wartam yang masih banyak bergantung dengana alam. Pengetahuan mereka akan makanan pokok dan obat-obatan sebagai bagian dari kearifan lokal sangat tinggi.
Hal ini mendapat pengaruh dari aspek kekeluargaan masyarakat adat yang masih kuat antara kepala kampung, pendeta sehingga nilai-nilai kearifan lokal mereka masih terjaga. “Jadi walau ada puskesmas, mereka masih menjaga nilai-nilai pemanfaatan obat-obatan ini secara berkelanjutan,” ungkap Yoga.
Selain itu, pemindahan Ibu Kota ke Distrik Fef tak sekadar dikhawatirkan merusak sumber daya alam, tapi juga akan merugikan masyarakat adat setempat. Berdasarkan studi yang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia lakukan sebelumnya, Wisnu menyebut pemerintah membeli tanah dengan harga yang sangat murah.
“Hal ini berseberangan dengan nilai dan arti tanah dalam masyarakat adat. Bukan saja tempat bergantung sumber pangan tapi juga unsur sakral,” imbuhnya.
Akan tetapi, seiring dengan tingkat migrasi yang tinggi para generasi muda ke berbagai luar daerah juga mengancam kerentanan pewarisan pengetahuan obat-obatan dan pangan lokal.
Menilik dari sisi finansial kapital, Yoga menyatakan bahwa pendapatan masyarakat di lima distrik ini sebenarnya lebih besar dibanding pengeluaran tiap harinya. Namun, ia mendapati di beberapa daerah yang intensitas pertaniannya maju, seperti Kampung Wertam yang masih berpenghasilan pas-pasan. Itu tak lain karena pola produksinya yang besar sehingga tak bisa dinikmati dalam jangka waktu pendek, seperti tiap bulan.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin