Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong upaya pemulihan kerusakan lahan melalui pelibatan masyarakat setempat. Dengan begitu masyarakat akan mengawasi keberlanjutan pemulihan lahan.
Direktur Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Edi Nugroho mengatakan, tantangan pemulihan lahan hutan di Indonesia yaitu ketimpangan antara luas lahan yaitu sekitar 90 juta hektare (ha) dengan keterbatasan sumber daya manusia.
“Dengan luas 90an juta ha tentu saja aparat kita tidak mampu maka kita butuh peran berbagai pihak. Seperti masyarakat lokal atau setempat,” katanya dalam diskusi “Mengapa Kerusakan Lingkungan Terjadi?” di GBK Jakarta, Jumat (5/8).
Tak hanya itu, menurut Edi masyarakat setempat juga memiliki peran krusial untuk terhadap keberadaan tambang tak berizin. Sejatinya masyarakat dapat mengawasi aktivitas tambang tak berizin tersebut, tapi Edi justru mengkhawatirkan masyarakat terbawa aktivitas eksploitasi tersebut.
“Masyarakat dapat terbawa turut mengeksploitasi lahan sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan,” imbuhnya.
Sektor berikutnya yaitu pertanian. Masyarakat setempat juga perlu terlibat. Menurut Edi saat ini pemahaman masyarakat masih belum optimal untuk melakukan pemulihan lahan.
“Kembali lagi kalau pemulihan tidak berdasarkan dengan masyarakat setempat keberlanjutannya tak berhasil juga,” ujarnya.
Pemangku Desa Kunci Penggerak Pemulihan Lahan
Saat ini KLHK tengah memfokuskan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan wilayah. Bentuk implementasinya yakni melalui pembentukan kelompok masyarakat, seperti Kelompok Masyarakat (Pokmas) hingga Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
“Kami mengajak masyarakat untuk merancang program pemulihannya dan penataan wilayah pemulihan,” ungkapnya.
Edi juga menekankan aspek percontohan dan keteladanan dari pemangku desa untuk bergerak aktif dalam pemulihan lahan. Sebab hal ini merupakan kunci keberhasilan pemulihan.
Sementara itu senior Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia Agam Napitupulu menilai, selama ini berbagai aturan terkait pemulihan lahan sudah sangat jelas. Bahkan aturannya hingga tingkat desa.
Hanya saja, sambung dia implementasi, berupa pengawasan masih belum optimal. “Pengawasan ini tidak bisa hanya setengah-setengah. Tetapi harus melekat dengan sanksi yang tegas,” katanya.
Wisata Petualangan Butuh Pengawasan
Dalam konteks wisata petualang, ia melihat masih minimnya pengawasan sehingga membuat para wisatawan mengotori hingga merusak lingkungan, seperti membuang sampah di gunung.
“Akan tetapi ini tak sekadar menyuruh masyarakat untuk mengawasi begitu saja. Tentu harus ada insentif yang cukup untuk mengawasi sekaligus memberdayakan mereka,” ungkapnya.
Ia mencontohkan para pendaki yang akan melakukan perjalanan ke Gunung Kinabalu di Malaysia wajib menyewa guide. Fungsi guide di sini bukan sekadar untuk memberi petunjuk pada pendaki, tapi juga mengawasi selama perjalanan ke lokasi.
“Meski kita sudah tahu jalannya, tapi ini guide harus ada. Mereka akan mengawasi apa saja yang boleh dan tak boleh pendaki lakukan, termasuk membuang sampah sembarangan,” tandasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin