Jakarta (Greeners) – Temuan air mengandung mikroplastik bukan kali pertama terjadi, Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) pernah menemukannya di Bengkulu. Baru-baru ini mereka pun kembali menemukan kondisi serupa di Kota Padang.
Tim ESN dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menemukan partikel mikroplastik dalam sungai yang menjadi sumber air irigasi dan PDAM di Kota Padang. Ini terlihat dari hasil uji kualitas air dan mikroplastik di Batang Arau dan Batang Kuranji.
Menurut penelitian Farhan Hanieve, Budhi Primasari dan Yommo Dewilda dari Teknik Lingkungan Universitas Andalas, air sungai tersebut mengandung mikroplastik 1.670-10.000/m3 air.
Dalam keterangan tertulisnya terungkap timbulnya mikroplastik di Batang Arau dan Batang Kuranji bersumber dari timbulan sampah liar di tepi sungai dan di dalam badan air sungai. Sampah liar ini ada karena tidak adanya sarana tempat sampah yang memadai dari Pemerintah Kota (Pemkot) Padang.
“Mikroplastik yang masuk dalam air akan mengikat polutan di air seperti logam berat, pestisida, detergen dan bakteri patogen. Jika mikroplastik tertelan manusia melalui ikan, kerang dan air maka bahan polutan beracun akan berpindah ke tubuh manusia dan menyebabkan gangguan hormon,” kata peneliti Tim Ekspedisi Sungai Nusantara Prigi Arisandi.
Mikroplastik Masuk Kategori Senyawa Penggangu Hormon
Mikroplastik merupakan serpihan plastik berukuran kurang dari 5 milimeter yang berasal dari hasil fragmentasi atau terpecahnya plastik-plastik ukuran besar. Misalnya, tas kresek, sedotan, sachet popok dan bungkus plastik atau peralatan terbuat dari plastik. Sampah terbuang di media air atau media lingkungan lainnya.
Proses pecahnya plastik ukuran besar menjadi ukuran kecil disebabkan oleh radiasi sinar matahari, pengaruh fisik gerakan atau arus air.
Selain itu, mikroplastik masuk kategori senyawa penganggu hormon. Dalam proses pembuatan plastik ada banyak bahan kimia sintetis tambahan dan sifat mikroplastik yang hidrofob atau mudah mengikat polutan dalam air.
Selain itu mikroplastik juga berasal dari limbah domestik dari kegiatan mandi dan cuci rumah tangga yang tidak terolah. Sebanyak 98 % jenis mikroplastik yang tim peneliti temukan adalah jenis fiber atau benang yang berasal dari polyester atau bahan pakaian yang dilaundry.
Ubah Aturan dan Maksimalkan Infrastruktur Pengolahan Sampah
Berdasarkan temuan pada dua sungai tersebut, Walhi dan ESN mendorong agar Pemkot Padang melakukan sejumlah kebijakan. Pertama, menjadi teladan dalam perubahan perilaku pengurangan plastik sekali pakai (PSP) dalam setiap kegiatan pemkot. Selain itu mendukung pemilahan dan pengolahan sampah organik.
Di samping itu Pemkot juga harus membuat dan menerapkan Rencana Teknis Pengelolaan Sampah (RTPS) di masing-masing kawasan (seperti kelurahan atau desa).
Pemkot Padang juga harus mengendalikan timbulan sampah di Batang Arau dan Batang Kuranji. Konkretnya dengan membuat kebijakan larangan penggunaan plastik sekali pakai seperti styrofoam, tas kresek, sedotan, botol plastik, sachet dan popok.
Prigi juga mendesak Pemkot Padang mengubah aturan pengelolaan sampah. Apalagi saat ini sudah ada temuan kontaminasi mikroplastik di perairan Padang. Pemkot Padang juga harus menyediakan fasilitas dan infrastruktur pengelolaan sampah. Salah satunya pengelolaan sampah organik.
Untuk mewujudkan Padang bebas sampah atau zero waste, pemkot juga harus menggandeng berbagai unsur di masyarakat. Dengan begitu kampanye yang ada efisien untuk menekan timbulan sampah.
Tak ketinggalan dorongan agar produsen mengimpelementasikan extended producers responsibility (EPR) dan redesign packaging produk.
“Industri harus meredesign bungkus yang mereka gunakan agar bisa dipakai berulang kali. Atau menyediakan depo-depo refill dan mereka harus ikut mengelola sampah bungkus yang kini membanjiri,” tegas Prigi.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin