Jakarta (Greeners) – Balaan Tuman Ensemble dan World Opera Lab akan menggelar pertunjukan opera bertajuk Ine Aya’ – Suara Samar Rimba. Opera baru ini menceritakan tentang deforestasi di Kalimantan, utamanya tentang pohon kehidupan dan penjaganya, Ine Aya’.
Ine Aya’ terinspirasi oleh warisan kebudayaan dari Masyarakat Kayan, terutama dari epos Takna’ Lawe dan opera Eropa, Ring des Nibelungen. Ine Aya’ menceritakan hal-hal yang melewati batasan kebudayaan dan menginspirasi perubahan sikap kita terhadap alam.
Opera ini pertama kali pentas di acara bergengsi, Holland Festival, pada tahun 2021. Tahun ini, tepatnya 19 Agustus 2022, pertunjukan ini akan pentas pertama kali di Indonesia. Tepatnya di pedalaman Kalimantan, di desa Datah Diaan tempat Masyarakat Adat Kayan Mendalam. Kemudian beberapa pertunjukan juga bakal terselenggara di Pontianak dan Jakarta.
Karya kolaborasi antara sutradara Miranda Lakerveld dari World Opera Lab dan komposer Nursalim Yadi Anugerah dari Balaan Tumaan ensemble mengeksplorasi kreasi baru. Yadi merupakan musisi yang sedang berkembang di Indonesia. Ia amat memahami mengenai kultur kebudayaan musik Kayan. Ia mencari bentuk-bentuk baru untuk menampilkan musik warisan Kayan sehingga dapat khalayak sukai.
Sutradara panggung Miranda Lakerveld sudah melakukan penelitian di tradisi musik-teater dari seluruh dunia. Miranda kemudian membuat produksi opera mendunia seperti Turan Dokht di Iran dan Orfeo di India, tepatnya di Gujarat. Ine Aya’ pentas pertama kali oleh tim internasional, dengan penampil dari Kalimantan, Belanda, Thailand, Iran dan Amerika Serikat.
Opera Angkat Simbolisasi Kehidupan
Menariknya pertunjukan ini mengusung, pohon kehidupan sebagai simbol alam Kalimantan. Pohon mitologis yang tumbuh di tengah-tengah dunia. Orang Kayan menyebut pohon ini Kayo’ Aya’. Kebudayaan Utara Eropa menyebutnya dengan Yggdrasil.
Ine Aya’ adalah dewi Kayan yang melindungi pohon kehidupan, hingga Tuhan datang dari Barat; Wotan. Lalu Wotan ingin memiliki pengetahuan dan kekuatan sang pohon. Ine Aya’ menghukum Wotan dan membuat ranting dan batang pohon merambati dia, hingga ia terpenjara.
Karena ia berusaha untuk terus berontak, lama-kelamaan pohon itu mati. Generasi muda berusaha melindungi sang pohon dari serangan dunia luar. Apakah pohon ini akan hancur seutuhnya? Atau, apakah kita bisa menyembuhkan si pohon dan memulai kembali kehidupan? Hal ini akan menarik disimak saat opera berlangsung.
Sebagai informasi, Takna’ Lawe’ biasanya dinyanyikan dan dipertontonkan. Naskah ini berdasarkan pada tradisi mendalam dari Kalimantan, yang secara puitis menggambarkan hubungan antara manusia dengan alam. Cerita ini telah turun-temurun selama berabad-abad menjadi warisan. Pertama kali tahun 1980an cerita ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.
Dalam naskah klasiknya termuat cerita para peneliti Kayan berpacu dengan waktu untuk menjaga Takna’. Dalam perjalanannya tradisi ini hampir punah. Pentas terakhir tradisi ini terjadi 30 tahun yang lalu.
Kemudian di opera baru ini, musik dari Takna’ Lawe’ bersanding dengan musik ciptaan Wagner. Kedua musik dan drama itu memanfaatkan motif berulang.
Penampilan di Holland Festival adalah kali pertama teks dari Takna’ Lawe’ terdengar di Eropa. Opera ini Balaan Tumaan ensemble pentaskan. Mereka memainkan instrumen tradisional seperti sape’ dan kaldii’.
Para pemain termasuk soprano asal Belanda-Indonesia, Bernadeta Astari; aktor asal Filipina-Amerika Serikat. Rolfe Dauz; soprano fenomenal asal Kalimantan, Frisna Virginia sebagai Ine Aya’, penari Art Srisayam. Musik serta vokal oleh aktivis Kayan, Dominikus Uyub dan Dayung Marta Haran. Kostum oleh Uke Toegimin.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin