Jakarta (Greeners) – Lahan gambut merupakan ekosistem penting bagi keanekaragaman hayati sekaligus menjadi solusi alam yang efektif dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Total luas gambut Indonesia mencapai 13,4 juta hektare (ha) atau setara dengan 80 persen total lahan gambut di Asia Tenggara. Dari situ, menyimpan 14 persen karbon gambut global.
Namun dari kajian para pakar, sekitar 12 persen lahan gambut saat ini telah dikeringkan dan terdegradasi sehingga rentan terbakar. Kondisi karena ulah manusia ini berkontribusi terhadap 5 persen emisi gas rumah kaca global.
Oleh sebab itu, perlindungan dan restorasi gambut tidak hanya berperan untuk target iklim nasional, tetapi juga untuk mitigasi perubahan iklim secara global.
Ulasan dan peran gambut ini terungkap dalam webinar yang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) gelar baru-baru ini. Webinar ini juga untuk menyambut Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia 2023 yang jatuh tiap tanggal 22 Mei.
Selain itu menjadi sarana diseminasi hasil kajian yang telah BRIN dan YKAN, serta mitra lakukan mengenai potensi gambut tropis.
Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca
Kepala Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih BRIN, Sasa Sofyan Munawar merekomendasikan hasil riset ini menjadi kebijakan untuk melindungi gambut di Indonesia.
“Gambut memiliki kontribusi signifikan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang tinggi,” kata Sasa dalam keterangannya.
Senada dengannya Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN Haruni Krisnawati menyebut, lahan gambut adalah ekosistem yang unik dan langka.
Meskipun hanya mencakup sekitar 3-4 persen dari permukaan tanah planet ini, namun mengandung hingga sepertiga (30-40 persen) karbon tanah dunia. Yaitu dua kali jumlah karbon yang di hutan dunia. Melestarikan ekosistem lahan gambut ini sangat penting untuk mencapai tujuan iklim global.
Perlindungan dan Restorasi Lahan Gambut
Pemerintah Indonesia dalam lima tahun terakhir berkomitmen menekan degradasi dan deforestasi lahan gambut. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menerapkan strategi 3R (rewetting, revegetation, dan revitalization).
Rewetting adalah pembasahan kembali area gambut dengan pembangunan sekat kanal, pembangunan sumur bor dan mendorong basahnya area gambut.
Sementara revegetation adalah penanaman kembali melalui persemaian, penanaman dan regenerasi alami. Sedangkan revitalization adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian, perikanan dan ekowisata.
Manager Senior Karbon Hutan dan Iklim YKAN, Nisa Novita menekankan, pembasahan kembali area gambut dapat menghemat biaya dalam mencapai target penurunan emisi karbon nasional.
“Upaya pembasahan kembali lahan gambut melalui pembuatan sekat kanal di perkebunan kelapa sawit pada lokasi penelitian di Kalimantan Barat dapat mengurangi sepertiga dari emisi CO2 dan tidak berpengaruh pada emisi metana,” paparnya.
Pada skala nasional, pembasahan gambut berpotensi menyumbang 34 persen terhadap target pengurangan emisi nasional dari sektor forest and other land uses (FoLU).
Penulis : Dini Jembar Wardani
Editor : Ari Rikin