Jakarta (Greeners) – Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) merilis lima brand pencemar sampah plastik di Sungai Kemuning dan Barito, Kalimantan Selatan. Sampah plastik yang mereka temukan mayoritas pembungkus mie instan, deterjen, minuman dan makanan kemasan, bekas pembalut wanita dan popok bayi.
Sampah plastik tersebut akan berubah menjadi serpihan kecil (mikroplastik). Artinya pencemaran mikroplastik pada rantai makanan di daerah aliran sungai (DAS) Barito menjadi ancaman baru bagi masyarakat di Kalimantan Selatan.
Temuan lima brand di sungai tersebut lantaran brand audit yang Tim ESN lakukan bersama Komunitas Young Solidarity Banjar Baru dan Perkumpulan Telapak Kalimantan Selatan.
“Kami melakukan audit terhadap brand atau merek sampah plastik yang banyak ditemukan di sungai-sungai di Kalimantan Selatan. Hal ini untuk mengetahui produsen apa yang paling banyak mencemari sungai-sungai kita,” kata aktivis Lisber Halomoan dalam keterangannya, Minggu (4/9).
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa sampah-sampah plastik yang paling banyak mereka temukan adalah packaging dari produsen kebutuhan sehari-hari. Kemasan itu dari brand PT Unilever, PT Wings, PT Indofood, PT Nestle dan PT Unicharm produsen pembalut wanita dan popok bayi.
Tak hanya itu, mereka juga menemukan bahwa 10 spesies ikan yang banyak masyarakat konsumsi mengandung mikroplastik 53 partikel mikroplastik/ekor.
“Sepuluh ekor ikan yang diteliti adalah ikan patung, seluang, tembubuk, lompok, lais, nila, puyau, sili-sili, handungan dan ikan senggiringan. Sejumlah jenis ikan itu telah terkontaminasi mikroplastik. Ikan lais paling banyak tercemar dengan kandungan dalam lambungnya sebesar 135 partikel mikroplastik” ungkap peneliti Tim Ekspedisi Sungai Nusantara, Prigi Arisandi.
Temuan Mikroplastik dari Sampah Plastik di Sungai
Ia menjelaskan, bahwa salah satu penyebab utama tercemarnya ikan oleh mikroplastik adalah banyaknya sampah plastik yang tim temukan di sungai-sungai. “Untuk mengendalikan kontaminasi mikroplastik dalam tubuh ikan kita harus mengendalikan sampah plastik yang masuk ke dalam perairan” paparnya.
Sampah plastik yang ada di sungai-sungai akan terpecah menjadi serpihan plastik berukuran kecil (mikroplastik).
Prigi menyatakan, terdapat dua faktor penyebab sungai menjadi tempat sampah. Pertama, minimnya sarana tempat, pengangkutan dan pengolahan sampah. Kedua, rendahnya kesadaran masyarakat sehingga perilaku membuang sampah ke sungai telah menjadi budaya yang tak terpisahkan.
Faktor lainnya, yakni lepasnya tanggung jawab produsen penghasil sampah. Padahal, dalam Undang-Undang Pengelolaan Sampah No 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa produsen bertanggung jawab atas sampah dari bungkus produk yang mereka hasilkan yang tidak dapat terolah secara alami.
Ia menyebut, produsen besar seperti Unilever, Indofood dan Wing harus bertanggung jawab atas sampah sachet yang mereka hasilkan dan terbuang ke sungai.
“Karena sampah jenis sachet ini tidak dapat didaur ulang karena plastiknya berlapis-lapis, sehingga tidak ada yang mendaur ulang dan akhirnya dibuang ke sungai,” ungkapnya.
Dari hasil brand audit di sungai tim temukan, 70 % sampah berupa tas kresek, plastik bungkus, styrofoam, sedotan dan bungkus plastik lainnya. Sementara, 30 % sampah berupa sachet dari lima produsen besar tersebut.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin