Jakarta (Greeners) – Bertepatan dengan Hari Satwa Dunia 4 Oktober, Coral Triangle Center (CTC), lembaga independen bidang konservasi laut yang berbasis di Bali, mengajak masyarakat mengaji lebih dalam tentang penyu di segitiga terumbu karang. Segitiga terumbu karang merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia yang meliputi Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste.
“Indonesia menjadi jantung keanekaragaman hayati laut di dunia. Terdapat 6 dari 7 jenis penyu yang ada di dunia, semuanya tergolong langka dan dilindungi. Salah satu siklus hidupnya adalah di terumbu karang. Penyu hijau dan penyu sisik merupakan jenis yang paling terkenal di Indonesia,” ujar Executive Director sekaligus Founder CTC, Rili Djohani, pada acara Hari Satwa Dunia 2020: Mengenal Penyu di Segitiga Terumbu Karang, Senin (05/10/2020).
Enam jenis penyu yang dapat ditemui di Tanah Air adalah penyu hijau (Chelonia mydas); penyu sisik (Eretmochelys imbrata); penyu lekang (Lepidochllys olivacea); penyu tempayan (Carretta carretta); penyu pipih (Natator depressus); dan penyu belimbing (Dermochelis coriaceae) yang memiliki ukuran badan paling besar dibanding spesies lainnya.
Spesies penyu dapat dibedakan menggunakan bentuk badan; bentuk dan jumlah sisik; ruas moncong kepala atau prefontalnya; dan juga ujung atas kiri punggung atau knuckle (nukel) di belakang kepala atau ruas sisik di punggung penyu.
Di Ibu Pertiwi, pantai dengan peneluran penyu terbanyak terutama penyu belimbing ada di pantai Jamursba Medi, Distrik Abun, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Penyu hijau tersebar di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur dan pulau Biak di Raja Ampat, Papua Barat. Sementara itu, penyu lekang biasa ditemui di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur.
CTC: Penyu Merupakan ‘Keynote Species’
Selain terkenal sebagai satwa berumur panjang, penyu memiliki beberapa keunikan lain. Salah satunya pada anak penyu (tukik). Menggunakan kompas internal yang terekam pada tubuh mereka, tukik mampu kembali ke tempat mereka semula menetas.
“Tukik memiliki indera yang dapat merekam kondisi pantai di mana dia pertama kali menetas sehingga momen pertama kali tukik menetas menjadi sangat penting. Ketika mereka pergi mencari makan di samudra, mereka dapat kembali ke pesisir di mana mereka keluar,” jelas senior MPA specialist dari CTC, Purwanto.
Purwanto mengatakan siklus hidup tukik belum dapat diketahui. Hal ini disebabkan ketika pergi mencari makan, mereka beranjak sejauh mungkin. Padahal, di samudra banyak terdapat predator besar. Siklus hidup tukik pun secara ilmiah masih menjadi misteri.
Penelitian terkait siklus hidup penyu penting bagi hayati laut karena penyu merupakan keynote species, spesies yang keberadaannya sangat berpengaruh pada spesies lain dan habitatnya. Penyu memakan pucuk lamu atau sponge dan membersikan sedimen. Dengan demikian, penyu berperan untuk menjaga habitat lamu atau terumbu karang tetap sehat.
Selain itu, penyu juga berperan dalam memangsa ubur-ubur di kepulauan Kei, Maluku. Bilamana ubur-ubur ini berlebihan tentu mengganggu keseimbangan ekosistem laut. Lebih jauh, ketika penyu bertelur di pantai ia memberikan nutrisi pada biota yang hidup di tepi pantai tersebut.
Jaga Pantai dari Sampah Plastik yang Mengancam Hidup Penyu
Meskipun keberadaannya begitu penting bagi ekosistem laut, tidak dapat dinafikan kondisi populasi penyu memprihatinkan. Keenam penyu dari Indonesia terancam punah dan masuk radar daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN Red List).
“Hal yang paling menjadi ancaman adalah polusi sampah plastik. Banyak kasus penyu yang ditemukan mati karena memakan plastik,” jelas Purwanto.
Selain plastik, keberadaan penyu juga terancam akibat perubahan iklim, perdagangan ilegal, dan praktik mengonsumsi penyu. Tidak hanya itu, jamak pula penyu yang tidak sengaja tertangkap jaring. Belum lagi gangguan dan perubahan habitat serta risiko terkena penyakit.
Melihat banyaknya ancaman yang mengintai, tentu perlu solusi melestarikan keberadaan penyu. Purwanto mengatakan yang bisa kita lakukan untuk menjaga penyu dari kepunahan adalah penjagaan pantai. Sehingga, lanjutnya, induk penyu aman membuat sarang dan bertelur. Dengan demikian, dapat memastikan proses reproduksi tetap berlangsung.
“Perlu upaya bersama untuk mengurangi dampak negatif dari perikanan komersial maupun tradisional yang dapat menyebabkan penyu tertangkap baik sengaja atau tidak disengaja. Kemudian usaha untuk menegakan aturan saya kira menjadi kunci penting pelestarian penyu, sebenarnya di Indonesia cukup tegas tetapi penegakan menjadi kunci karena selama ini masih banyak toleransi,” ujar Purwanto.
Pentingnya Peran Aktif Warga Melindungi Penyu
Mengingat begitu krusialnya penyu bagi habitat laut, peran aktif masyarakat perlu untuk melindungi fauna ini. Puwanto meneruskan, penyu merupakan megafauna karismatik, fauna yang besar dan menarik. Penyu, lanjutnya, selalu mencuri perhatiaan manusia, baik di pesisir pantai maupun di dasar laut. Mengingat betapa karismatikanya satwa ini, menurut Purwanto, dibandingkan mengonsumsi daging dan telur penyu, warga baiknya menekankan pariwisata penyu yang lebih memiliki nilai ekonomi. Belum lagi, terang Purwanto, bagi beberapa suku di Indonesia dan mancanegara, penyu dianggap sebagai nenek moyang mereka yang akan melindungi bumi.
Upaya lain dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat sebagai pengawas. Upaya ini dicontohkan CTC dengan membentuk kelompok pengawas masyarakat (Pokmaswas). Saat ini CTC telah membentuk dua pokmaswas: Pokmaswas Pasir putih dan Pokmaswas Tanjung Deko. Kedua Pokmaswas ini berperan menjaga telur penyu di sekitar kawasan mereka dari predator.
Sebagai individu, lanjut Purwanto, solusi pelestarian penyu antara lain dengan menghindari konsumsi daging atau telur penyu; tidak menggunakan perhiasan dengan dari penyu; dan mengurangi sampah di pantai dan laut.
Penulis: Maria Soterini
Editor: Ixora Devi