Jakarta (Greeners) – GreenFaith Indonesia melaksanakan Tur Rumah Ibadah dengan berkunjung dan berdialog ke rumah ibadah enam agama di Indonesia. Tur tersebut dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Selain itu, tur juga bertujuan untuk menggali model dan inovasi bagaimana agama-agama di Indonesia berkontribusi dalam krisis iklim dengan aksi nyata.
Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, Hening Parlan mengatakan bahwa rumah ibadah merupakan potret sebuah agama. Di dalamnya bukan hanya digunakan sebagai rumah untuk berkomunikasi dengan Tuhan melalui ibadah, melainkan menjadi pusat atau sumber pengetahuan serta contoh baik dari aksi agama dalam melaksanakan perintah Tuhan.
Hening berharap, para peserta dapat saling bertukar pengetahuan tentang bagaimana agama mengajarkan mencintai lingkungan dan memuliakan bumi. Selain itu, memberikan pengetahuan untuk umatnya melakukan tindakan menyelamatkan bumi.
BACA JUGA: GreenFaith Gandeng Komunitas Agama Gali Soal Keadilan Iklim
Kegiatan Tur Rumah Ibadah Greenfaith laksanakan selama dua hari pada Sabtu-Minggu, 8-9 Juni 2024. Hari pertama, mereka mengunjungi Pura Adhitya Jaya-Rawamangun. Kemudian, ke GIPB Paulus–Taman Sunda Kelapa. Terakhir, mereka mengunjungi Yayasan Buddha Tzu Chi–Pantai Indah Kapuk.
Hari kedua, rute tur dimulai dari kunjungan ke Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah-Menteng Raya, kemudian ke Masjid Istiqlal–Jakarta Pusat. Kemudian, ditutup dengan doa bersama di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin–Jakarta Selatan.
Manusia Perlu Menjaga Hubungan Baik dengan Tuhan
Beberapa tokoh agama juga menyampaikan model dan inovasi yang sudah mereka terapkan dalam rumah ibadahnya. Pinandita Pengayah Pura Adhitya Jaya, I Gde Wiyadnya, mengatakan bagi umat Hindu, alam semesta adalah refleksi manusia itu sendiri.
“Semua yang ada di alam semesta terdiri dari lima elemen. Kami menyebutnya Panca Mahabhuta, yakni elemen pertiwi, udara, cairan, ruang, dan panas. Kalau kelima elemen tersebut di alam semesta ada yang terganggu, maka akan berpengaruh ke diri kita. Begitu pun sebaliknya,” ungkapnya.
Untuk menjaga keseimbangan elemen Panca Mahabhuta, lanjut Gde, dibutuhkan Tri Hita Karana, di mana manusia perlu menjaga hubungan baik dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam. Kemudian, Tri Hita Karana pun diadopsi ketika membangun rumah ibadah.
“Kami menjaga tempat ibadah, sebisa mungkin mendekati alam semesta. Oleh sebab itu, bangunan Pura terbuka, kita tanam pohon, dan umumnya memiliki sumber air,” imbuhnya.
Bangunan Pura, jelas Gde, terdiri dari tiga zona. Nista atau teras yang berada di luar, Madya atau ruang tengah, dan Utama atau ruang khusus peribadatan. Pura berfungsi secara vertikal atau hanya untuk peribadatan kepada Tuhan. Selain itu, pura juga dapat berfungsi secara horizontal atau untuk kegiatan sosial antarsesama.
BACA JUGA: Indonesia Perlu Segera Menyusun RUU Perubahan Iklim
Sementara itu, Rommi Matheos selaku Pendeta GPIB Paulus, menjelaskan sebagai langkah nyata dari ajaran Iman Kristen, Gereja GPIB Paulus menjalankan program layanan Gerakan Masyarakat dan Lingkungan atau Germasa. Hal itu berdasarkan hasil persidangan Sinode yang terselenggara setiap tahun.
“Di GPIB Paulus, kami ketika beribadah sudah tidak lagi pakai kertas, namun mulai paperless, dan kami sediakan tempat sampah pilah agar jemaat mampu memilah sampah sesuai jenisnya,” ungkap Pendeta Mattheos.
Belajar Isu Lingkungan Jadi Kunci Mempererat Umat Lintas Agama
Selanjutnya, dari Yayasan Buddha Tzu Chi, sejak tahun 1990 insan Tzu Chi telah melakukan pemilahan dan mengelola sampah menjadi barang berguna. Saat ini, relawan Tzu Chi juga aktif mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah dan daur ulang di Depo Pendidikan Pelestarian Lingkungan Tzu Chi.
Pada hari kedua, peserta juga belajar tentang aksi nyata mewujudkan keadilan iklim lewat energi terbarukan di Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Gedung tersebut kini telah menggunakan solar atap sebagai sumber energi alternatifnya.
Pengetahuan tentang energi peserta semakin bertambah dari kunjungan ke Masjid Istiqlal. Masjid terbesar di Asia Tenggara ini memiliki solar atap berkekuatan lebih dari 15 kilowatt peak. Solar tersebut memasok 16% kebutuhan listrik masjid. Pemanfaatan solar atap di gedung Masjid Istiqlal ini sudah berlangsung sejak 2019 lalu dengan sistem on grid atau terhubung dengan saluran listrik dari PLN.
Dari Masjid Istiqlal, peserta bertemu Romo Pandita Mettiko, di Klenteng Hok Tek Tjeng Sin atau Wihara Amarvabhumi. Klenteng yang sudah berusia lebih dari 100 tahun ini bertahan di tengah gedung-gedung pencakar langit di tengah kota Jakarta. Hal itu sebagai bukti nyata bagaimana kehidupan duniawi harus diimbangi hubungan manusia dengan Tian atau Tuhan dan alam sekitar yang terus-menerus berubah.
Hening menambahkan, toleransi umat beragama di Indonesia tidak cukup hanya dipelajari melalui buku dan dialog panjang di media. Pengalaman belajar langsung dalam rumah ibadah tentang iklim menjadi salah satu kunci mempererat umat lintas agama.
“Krisis iklim tidak mengenal perbedaan agama, karena itulah tanggung jawab untuk mencegah semakin buruknya dampak, menjadi milik semua umat,” ujarnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia