Jakarta (Greeners) – Potensi sisa pangan berlebih yang kerap berakhir menjadi sampah di Pasar Jebres Surakarta masih cukup besar setiap harinya. Yayasan Gita Pertiwi mendorong pemanfaatan sampah pangan tersebut dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mengelolanya secara lebih optimal.
Pengelolaan yang baik dapat mengubah sampah pangan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat, termasuk pemulung, TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle), dan bank sampah.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup Kota Surakarta, timbulan sampah di kota ini meningkat dari 300 ton menjadi 419 ton per hari. Sampah pasar menyumbang sekitar 7,28 persen atau 30 ton. Sebagian besar sampah tersebut terdiri dari sampah organik, seperti sisa sayuran, sisa makanan olahan, dan, dan daun-daunan.
“Kami sudah melakukan observasi dan koordinasi dengan petugas pasar. Rata-rata sampah organik di Pasar Jebres mencapai 8 kilogram per hari,” kata Staff Program Gita Pertiwi, Itsna, dalam keterangan tertulisnya.
BACA JUGA: Indonesia “Banjir” Sampah Makanan
Itsna menambahkan bahwa salah satu langkah penting adalah melakukan pemetaan untuk mengidentifikasi hasil sampah pangan. Dengan pemetaan yang tepat, pangan berlebih bisa terkelola sebelum menjadi sampah dan didistribusikan sesuai dengan prosedur yang benar. Dengan cara ini, sisa pangan bisa memiliki manfaat kembali serta jumlah sampah yang terbuang pun dapat berkurang.
Namun, pengelolaan sampah pasar saat ini masih belum optimal. Sampah hanya diangkut oleh truk sampah dan dibuang begitu saja ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Itsna menyarankan agar pasar bekerja sama dengan organisasi pengelola sampah untuk meningkatkan pengelolaan sampah pasar, terutama yang berasal dari sisa pangan.
“Dengan melibatkan warga dan petugas pasar, sampah-sampah, khususnya sampah pangan, dapat terkelola dengan lebih baik. Sehingga, pada akhirnya dapat mengurangi timbunan sampah di TPA,” jelasnya.
Sampah Pangan Berpengaruh pada Perubahan Iklim
Sampah pangan memiliki dampak lingkungan yang signifikan, salah satunya berpengaruh pada perubahan iklim. Menurut World Resources Institute (WRI), sampah makanan menyumbang 8% dari emisi gas rumah kaca global.
BACA JUGA: KLH Minta Pengusaha Kelola Sampah Makanan Tanpa Masuk TPA
Sampah makanan tersebut akan menghasilkan emisi berupa gas metana. Gas tersebut 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida dalam berkontribusi terhadap pemanasan global. Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar ketiga setelah China dan Amerika Serikat.
“Sehingga upaya pengelolaan sampah pangan di Kota Surakarta harus menjadi objek pembangunan yang pemerintah prioritaskan. Langkah awalnya dapat bermula dari pengelolaan sampah di pasar-pasar tradisional sebagai salah satu aset ekonomi yang penting bagi kota dan dikelola langsung pemerintah,” tegas Itsna.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia