Jakarta (Greeners) – Sobat Greeners, tahukah kamu? Jika pakaian yang kita gunakan sehari-hari juga bisa menjadi kontribusi buruk terhadap lingkungan. Pakaian dapat berbahaya bagi lingkungan, meningkatkan polusi air, tanah dan meningkatkan gas emisi rumah kaca, serta memperburuk perubahan iklim. Hal ini dapat terjadi apabila kita menggunakan pakaian dengan bahan dasar yang berbahaya bagi lingkungan, salah satunya poliester. Fesyen berkelanjutan harus menjadi pilihan.
Poliester berasal dari bahan baku fosil dan ketika dicuci akan menimbulkan serat mikro yang akan meningkatkan jumlah sampah plastik. Sayangnya, poliester merupakan bahan baku yang banyak industri fashion gunakan pada pakaian.
Ancaman perubahan iklim yang sedang dunia hadapi saat ini, sebagian besar berasal dari aktivitas manusia. Melansir dari laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2007), aktivitas manusia berkontribusi terhadap perubahan iklim sebesar 90%.
Guna mengurangi dampak yang akan alam terima, pada saat ini banyak industri mode yang berkontribusi dalam komitmen fesyen berkelanjutan dan ramah lingkungan. Beberapa dari mereka telah menunjukkan aksinya pada pengembangan dan menerapkan kebijakan tentang kapas dan bahan baku lainnya.
Aksi ini merupakan proses, praktik dan cara nyata bisnis mode beradaptasi, menerapkan pilihan ramah lingkungan dan berkembang. Bisnis mode punya tujuan menjadi agen dalam mencegah perubahan iklim, keberlanjutan lingkungan dan tanggung jawab yang etis.
Topiku Angkat Ekonomi, Sosial dan Budaya Indonesia
Selain itu, komitmen produsen dalam menangani limbah juga semakin bertumbuh, tak terkecuali di Tanah Air, Indonesia. Topiku brand aksesoris topi yang berdiri tahun 2015 menekuni komitmen fesyen berkelanjutan ini.
Founder Topiku, Monty Hasan mengusung brand premium yang terbuat hanya menggunakan tangan dengan metode upcycled dan recycled material. Seperti kain katun organik bersertifikat global organic textile standard (GOTS) yang sudah tidak terpakai. Untuk bagian pinggiran (brim), Topiku menggunakan daur ulang ember plastik high destiny polyethylene (HDPE).
Dalam proses produksi, Topiku bekerja sama dengan pengrajin, setiap produk jahitannya menggunakan tangan pengrajin di Cigondewah, Jawa Barat, Indonesia. Dengan hanya menggunakan bahan yang sudah tidak terpakai sebagai bahan utama.
Topiku ingin menunjukkan bahwa sampah bukan hanya masalah, tetapi juga solusi. Selain itu, karena hanya memanfaatkan bahan daur ulang, Topiku meninggalkan jejak karbon yang jauh lebih kecil daripada metode produksi berbasis pabrik.
“Komitmen kami terhadap ekologi industri akan menjadi dasar bagi pertumbuhan lingkungan, sosial dan ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan di masyarakat yang sedang berkembang ini,” tutur Monty pada webinar MVB Indonesia’s Sustainable Fashion, di Jakarta, baru-baru ini.
Selain sosial dan ekonomi, Topiku juga mengangkat unsur budaya pada produknya. Mereka membeli kelebihan potongan batik dari pengrajin batik di Solo dan memasukkannya ke dalam topi. Melihat banyaknya produsen yang mulai mempertimbangkan fesyen berkelanjutan, Monty berpendapat fesyen berkelanjutan akan terus berkembang pada perjalanannya.
“Fesyen keberlanjutan bukan hanya tren, ini adalah standar masa depan yang tak terhindarkan,” katanya.
Closed Loop Fashion, Fesyen Berkelanjutan dan Ekonomi Sirkular
Tidak hanya produsen yang mulai sadar melindungi bumi, saat ini terdapat perusahaan yang menjadi ‘penunjuk arah’ bagi mereka yang ingin terarah ke bisnis berkelanjutan. Untuk menuju fesyen berkelanjutan butuh pengetahuan yang mumpuni dan siklus yang tepat.
Closed Loop Fashion (CLF) merupakan sebuah perusahaan layanan konsultasi fesyen berkelanjutan khusus dalam bidang pakaian dan produksi tekstil. Mereka merancang proyek dan strategi untuk mendorong perubahan melalui implementasi praktik bisnis sirkular ekonomi.
Secara sederhana, Founder Closed Loop Fashion, Marina Chahboune menjelaskan, CLF memberikan bantuan bagi produsen mode yang ingin lebih terarah kepada fesyen berkelanjutan.
“Kita tidak menangani limbah tekstil, jadi kita konsultan, yang kami lakukan adalah membantu produsen untuk mengintegrasikan sistem manajemen limbah tekstil,” kata Marina.
Dalam hal CLF membantu pengumpulan, pemisahan, penggunaan lanjutan, pelacakan, pemantauan dan penyimpanan. Harapannya, limbah benar-benar mencapai nilai lebih tinggi untuk tujuan penjualan dan penggunaan kembali.
CLF beroperasi dalam empat segmen berbeda dalam menangani produsen mode, yakni understand, train, plan dan create. Langkah pertama yaitu understand adalah untuk menganalisis operasi bisnis untuk memahami langkah efektifnya. Selanjutnya adalah train, langkah ini merupakan langkah pelatihan dan meningkatkan pengetahuan tim produsen tentang fesyen berkelanjutan dan ekonomi sirkular.
CLF perlu menemukan solusi yang cocok agar langkah train berjalan sukses. Maka selanjutnya masuki proses plan. Proses ini merancang perubahan dan strategi untuk transisi ke praktik bisnis fesyen berkelanjutan dan sirkular. Langkah akhir yaitu create, penerapan menuju proses produksi yang berkelanjutan.
Pada kesempatan itu, Marina menyebut beberapa tantangan yang CLF hadapi, salah satunya adalah kurangnya teknologi. Menurutnya, teknologi saat ini berperan penting dalam mengolah bahan atau komposisi bahan baku pakaian atau fesyen berkelanjutan, serta desain yang mendukung.
“Kita harus mendesain dengan cara yang sangat berbeda ke depannya agar desain tersebut benar-benar cocok untuk digunakan kembali dalam prosesnya,” ucapnya.
Penulis : Zahra Shafira