Compassion Week, Pelatihan Pengelolaan Sampah Sungai Ciliwung

Reading time: 2 menit
Siswa-siswi SMP Kanisius Jakarta membersihkan bantaran Sungai Ciliwung bersama komunitas Jalagayatri. Foto: dok. Ade Ridwan

Jakarta (Greeners) – Sungai merupakan salah satu tempat yang menjadi habitat dari beberapa mahluk hidup. Namun, alih-alih dapat berfungsi sebagai mana mestinya, sungai seolah sudah diidentikkan sebagai tempat alternatif pembuangan sampah.

Keadaan ini membuat sebuah komunitas yang peduli terhadap pengolahan sampah, Jalagayatri, membuat pelatihan atau workshop pengelolaan sampah kepada siswa-siswi SMP Kanisius Jakarta. Acara yang merupakan bagian dari Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) ini diadakan di Sungai Ciliwung Bojong Gede, Depok, pada Kamis (15/10).

Ketua Jalagayatri Fadel Achmad, menyatakan, hampir sebagian besar sampah yang ada di Sungai Ciliwung tidak dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Meskipun jumlah sampah di Sungai Ciliwung hanya sebesar 20 persen dari jumlah sampah keseluruhan di Jakarta, namun menurut Fadel sampah di Sungai Ciliwung masih harus diperhatikan. Hal ini karena sampah non organik mendominasi dan akan merusak lingkungan sungai karena tidak dapat terurai.

“Harusnya semua sampah berakhir di TPA, bukan malah di sungai,” jelas pria yang biasa disapa Ichay ini kepada Greeners pada Kamis (15/10) lalu.

Siswa-siswi SMP Kanisius Jakarta membersihkan bantaran Sungai Ciliwung bersama komunitas Jalagayatri. Foto: dok. Ade Ridwan

Siswa-siswi SMP Kanisius Jakarta membersihkan bantaran Sungai Ciliwung bersama komunitas Jalagayatri. Foto: dok. Ade Ridwan

Menurut Ichay, pemerintah harus lebih serius dalam mendukung pelestarian Sungai Ciliwung. Ia menyatakan bahwa kepedulian masyarakat terhadap keberadaan sampah di Ciliwung tak akan berarti tanpa adanya dukungan penuh dari pemerintah.

Minimnya dukungan pemerintah membuat pengelolaan sampah yang ada di Sungai Ciliwung berdampak pada kurang maksimalnya pengelolaan sampah di DAS Ciliwung. Hal ini semakin bertambah buruk dengan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat sekitar mengenai sampah. Alhasil, sungai dianggap sebagai halaman belakang rumah saja.

“Karena pola pikir masyarakat sekitar sungai baru pada tahap bersihnya halaman rumah dari sampah, jadi sampah pun dibuang ke sungai,” ujarnya.

Ichay menambahkan bahwa selama ini, anak-anak sekolah, khusunya di ibu kota, hanya mengetahui bahwa Sungai Ciliwung adalah sungai yang penuh dengan permasalahan, termasuk banyaknya sampah. Menurutnya karena anak-anak hanya mengetahui berdasar apa yang digambarkan oleh media saja sehingga cenderung menjauhi Sungai Ciliwung. “Ternyata ada Ciliwung yang bagus dan harus dilestarikan,” kata Ichay.

Siswa-siswi SMP Kanisius Jakarta membersihkan bantaran Sungai Ciliwung bersama komunitas Jalagayatri. Foto: dok. Ade Ridwan

Siswa-siswi SMP Kanisius Jakarta membersihkan bantaran Sungai Ciliwung bersama komunitas Jalagayatri. Foto: dok. Ade Ridwan

Workshop ini diawali dengan mengajak 186 peserta yang berasal dari SMP Kanisius Jakarta untuk berkunjung ke TPA Bantar Gebang di Bekasi. Kunjungan ke Bantar Gebang, menurut Ichay, akan sangat berpengaruh pada pengetahuan siswa terhadap sampah. “Jadi ada perbandingan antara sampah di TPA dan sungai,” ucapnya.

Selain berkunjung ke bantar gebang, acara bertema “Belajar dari Tenangnya Sungai” ini memiliki lima kegiatan. Kelima kegiatan tersebut adalah mulung sampah, menyusuri sungai dan kampung, bio tilik, kelas kompos dan pembibitan, serta menanam sepuluh jenis pohon lokal.

Dengan adanya pelatihan ini, Ichay pun berharap akan semakin banyak anak-anak yang menyadari pentingnya upaya pelestarian lingkungan, khususnya sungai. Ia juga mengharapkan Sungai Ciliwung dapat menjadi area terbuka yang ramah terhadap anak-anak.

Penulis: TW/G37

Top