BRIN Kembangkan Vaksin Ikan pada Riset Kesehatan Hewan Akuatik

Reading time: 2 menit
Peneliti Pusat Riset Veteriner (PRVet) Angela Mariana Lusiastuti berbicara tentang kesehatan hewan akuatik. Foto: BRIN
Peneliti Pusat Riset Veteriner (PRVet) Angela Mariana Lusiastuti berbicara tentang kesehatan hewan akuatik. Foto: BRIN

Jakarta (Greeners) – Peneliti Pusat Riset Veteriner (PRVet) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Angela Mariana Lusiastuti, mengatakan kegiatan penelitian kesehatan hewan akuatik berfokus pada pengembangan vaksin dan obat ikan. Mengelola kesehatan ikan budi daya menjadi semakin penting, karena wabah penyakit pada budi daya ikan dapat mengurangi produktivitas dan profitabilitasnya.

Menurut Angela, hewan akuatik seperti ikan merupakan sumber protein hewani lebih rendah lemak daripada sumber protein hewani lainnya. Ikan ini juga mengandung omega-3 yang tidak diproduksi oleh tubuh. Selain itu, BRIN juga akan mengembangkan metode deteksi penyakit serta resistensi antimikroba atau penggunaan antimikroba.

“Contohnya, ikan seperti sarden yang tulangnya dapat dimakan, menyediakan sumber vitamin D yang berharga. Sehingga, ini menjadi salah satu kunci dalam mencegah stunting,” kata Angela di Jakarta, Selasa (10/12).

BACA JUGA: BRIN Olah Sampah Plastik Menjadi Bahan Bakar di Banjarnegara

Dalam penelitian ini, ia akan mengembangkan vaksin beku-kering berlapis kitosan yang memiliki kelebihan. Seperti mudah untuk ia mobilisasi dan mampu mempertahankan kualitas dan efektivitas vaksin pada suhu panas, serta pengangkutan yang memerlukan jarak jauh. Berbeda dengan vaksin cair memiliki kelemahan, yaitu tidak praktis dan mudah rusak selama penyimpanan dan pengangkutan.

Strategi Penanganan Penyakit Ikan

Sementara, peneliti kesehatan ikan dari Centex Thailand Saengchan Senapin memaparkan cara mengatasi penyakit ikan, untuk mendapatkan makanan akuatik yang sehat dan bergizi di Thailand. Ia mengklasifikasikan diagnosis penyakit pada hewan akuatik ke dalam tiga level diagnosis.

“Diagnosis dapat dimulai dari level 1, dengan mengobservasi tanda-tanda klinis kasar, serta perilaku dan parameter lingkungan,” ujarnya.

Tanda-tanda klinis tersebut dapat memberikan pedoman untuk melihat langkah selanjutnya melalui alat laboratorium, apakah ada bakteri atau parasit. Hal ini masuk klasifikasi level 2.

“Kemudian, dengan teknik lanjutan, mengonfirmasi klasifikasi level 3 dengan teknik electron microscopy, molecular and immunoassays, dan virology,” sebutnya.

Saengchan mengambil contoh pada ikan nila (tilapia). Dalam beberapa kasus, ikan nila dapat terjangkit penyakit telur merah.

Dalam kondisi level 1, ikan bertelur berwarna merah dengan tingkat kegagalan menetas hingga 50 persen. Ketika petugas membawa sampel telur ke laboratorium, mereka menemukan banyak bakteri. Selain itu, dengan teknik analisis electron microscopy, mereka menemukan bakteri Hahella chejuensis.

“Uniknya, ini adalah bakteri lautan, bagaimana bisa ditemukan pada ikan air tawar,” imbuhnya.

BACA JUGA: Peneliti BRIN Ukur Tingkat Stres Orang Utan melalui Analisis Feses

Ternyata, hal itu terjadi karena para peternak ikan nila menggunakan salinitas untuk menekan bakteri lainnya pada masa inkubasi. Setelah mereka mengurangi tingkat salinitas dan menernakkan ikan di kolam dengan paparan sinar matahari yang lebih banyak, alhasil hampir tidak ada temuan lagi penyakit telur merah.

Banyak berbagai penyakit yang muncul memang menjadi masalah di saat ini atau masa depan. Ia menekankan pentingnya memperkuat fasilitas, membangun sumber daya manusia, dan mendukung ilmuwan generasi selanjutnya.

“Menjaga kesehatan hewan akuatik memang membutuhkan upaya dan waktu cukup besar, karena penyakit bisa muncul dari hal kecil, seperti telur ikan,” tuturnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top