Jakarta (Greeners) – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor untuk mengidentifikasi jenis-jenis patogen yang menginfeksi bekantan di habitat asli (in situ) dan di luar habitat asli (ex situ). Kerja sama ini untuk menentukan status kesehatan hewan primata endemik asal Kalimantan yang harus dilindungi.
Kepala Pusat Riset Veteriner (PRV) Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Harimurti Nuradji, menyatakan bahwa pihaknya mendukung upaya semua pemangku kepentingan. Mulai dari pemerintah hingga pihak swasta, dalam menjaga kelestarian dan kesehatan satwa liar Indonesia.
“Riset pada bekantan ini merupakan langkah awal bidang kesehatan satwa liar di Indonesia. Ke depannya, riset-riset sejenis akan diakomodasi untuk riset di berbagai satwa lainnya, seperti hewan ternak dan hewan akuatik. Demikian juga terkait dengan vektor, keamanan pangan, dan juga penyakit zoonosis,” sebut Harimurti.
BACA JUGA: Bekantan, Perjuangan Melawan Kepunahan
Bekantan (Nasalis larvatus) adalah primata endemis yang masuk dalam kategori terancam punah menurut IUCN Red List of Threatened Species. Salah satu penyebab kepunahan hewan endemik tersebut adalah berkurangnya habitat alami akibat deforestasi dan migrasi penduduk yang masif.
Selain itu, perubahan iklim global yang menyebabkan perubahan ekologi juga berkontribusi pada munculnya berbagai agen penyakit. Kombinasi antara pakan yang beragam dan kontak dengan manusia serta tanah dapat memicu timbulnya berbagai penyakit, terutama pada saluran pencernaan bekantan.
Rencana kerja sama ini akan berlangsung selama tiga tahun, dari tahun 2024 hingga 2026, sebagai langkah awal dalam pengembangan riset kesehatan satwa liar. Satwa liar Indonesia merupakan aset tak ternilai bagi bangsa, dan BRIN melalui Pusat Riset Veteriner berkomitmen untuk melindungi dan menjaga kelestarian ekosistem serta satwa liar di Indonesia.
Riset Bekantan Masih Terbatas
Riset tentang bekantan di Indonesia saat ini masih terbatas, meskipun satwa ini merupakan ikon Kalimantan yang terancam punah. Maka dari itu, perlu penelitian yang mendalam untuk mendukung kelestariannya.
Peneliti Pusat Riset Veteriner BRIN, Nanis Nurhidayah sekaligus penanggung jawab kegiatan kerja sama ini, menjelaskan bahwa bekantan tidak hanya berada pada habitat alaminya di hutan Kalimantan. Satwa tersebut juga berada di lokasi penangkaran ex-situ, seperti di TSI.
Oleh karena itu, lanjut Nanis, perbandingan kondisi kesehatan antara kedua populasi ini sangat penting. Hal ini bertujuan untuk menentukan kebijakan konservasi yang tepat di masing-masing lokasi. Kerja sama ini juga akan berfokus pada kajian penyakit zoonosis yang berpotensi ditularkan antara hewan dan manusia.
BACA JUGA: Bekantan, Si Hidung Besar yang Bisa Berenang
Nanis menambahkan, kondisi bekantan bisa berbeda antara yang ada di ex-situ dan habitat aslinya. Bekantan di instalasi konservasi ex-situ berpotensi mengalami interaksi lebih banyak dengan manusia, terutama saat jumlah pengunjung meningkat. Sehingga, risiko infeksi penyakit zoonosis yang dapat ditularkan antara manusia dan hewan juga meningkat.
“Sebagai lembaga riset nasional, BRIN menjadi garda depan dalam penelitian kesehatan hewan, termasuk satwa liar. Selain itu, data penelitian yang kami peroleh melalui kerja sama ini harapannya dapat menjadi landasan pengambilan kesehatan manajemen satwa liar, khususnya bekantan di TSI,” ujar Nanis.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia