Jakarta (Greeners) – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tengah mengembangkan produk biosensor portabel. Alat yang dibuat oleh Pusat Riset Elektronika (PRE) ini bisa mendeteksi virus hingga pencemaran lingkungan.
Biosensor adalah perangkat analisis yang menggabungkan komponen hayati dengan pendeteksi fisikokimia untuk mendeteksi zat kimia tertentu, sehingga menghasilkan luaran yang terukur.
Kelebihan perangkat ini antara lain bersifat portabel, mudah dioperasikan, dan tidak memerlukan backup supply. Biosensor yang mereka kembangkan juga dapat terintegrasi dengan IoT & machine learning.
Peneliti Ahli Utama PRE BRIN Robeth Viktoria Manurung fokus pada penelitian biosensor berbasis elektrokimia, dengan memanfaatkan komposit graphene/ZnO nanoparticles. Perangkat ini dapat mendeteksi kadar biomarker human SAA. Fungsinya untuk treatment kanker paru maupun tingkat keparahan pasien penderita COVID-19.
BACA JUGA: Pangan dan Energi Masih Jadi Fokus Utama Penelitian BRIN
Spesifikasi teknis dari biosensor yang sedang mereka kembangkan ialah menggunakan jenis sampel berupa serum darah atau saliva pasien, menggunakan jenis transduser elektrokimia, dengan rentang pengukuran antara 10 hingga 200 miligram per liter. Perangkat ini bersifat portabel dan terkoneksi dengan smartphone.
Selain itu, Robeth juga mengembangkan biosensor berbasis elektrokimia untuk mendeteksi virus dengue menggunakan logam transisi metal oksida berbahan nikel-kobalt.
“Harapannya, perangkat ini akan digunakan sebagai peralatan portabel yang mampu terhubung dengan smartphone,” kata Robeth saat dihubungi Humas BRIN, Jumat (29/3).
Selain penelitian biosensor, Robeth dan tim juga telah menghasilkan prototipe sensor untuk mendeteksi kandungan unsur hara tanah maupun deteksi pencemaran lingkungan.
“Hasil-hasil tersebut sudah terpublikasi di jurnal global bereputasi menengah atau tinggi,” ujar Robeth.
Kelemahan Perangkat
Namun, menurut Robeth, perangkat yang dia kembangkan ini masih memiliki kelemahan, yakni pada bahan baku yang bergantung impor.
“Bahan baku untuk pembuatan biosensor sebagian besar merupakan produk impor. Hal ini berimbas kepada biaya produksi yang mahal,” jelas Robeth.
BACA JUGA: BRIN dan Kementan Kerja Sama Perkuat Ekosistem Pangan
Karena itu, lanjut dia, perlu kolaborasi interdisipliner antara ilmuwan dan insinyur ataupun penggiat dari berbagai bidang, seperti biologi, kimia, ilmu material, dan elektronik. Inovasi dalam desain sensor, material, teknik pemrosesan sinyal, dan metode analisis data sangat penting untuk mengatasi tantangan ini dan memajukan bidang biosensor.
“Kolaborasi ini dapat dilakukan dengan pihak dalam maupun luar negeri,” katanya.
Tantangan dalam Mengembangkan Biosensor
Sementara itu, pengembangan biosensor ini tidak terlepas dari tantangan. Robeth menghadapi tantangan soal bagaimana mencapai sensitivitas dan selektivitas yang tinggi, dengan tetap menjaga stabilitas dan reproduktivitas. Sensitivitas tersebut artinya memastikan bahwa biosensor dapat mendeteksi analit target konsentrasi rendah secara andal.
“Faktor-faktor seperti noise, interverensi dari senyawa lain, dan efisiensi transduksi sinyal dapat memengaruhi sensitivitas biosensor,” terang Robeth.
Tantangan selanjutnya yaitu menjaga stabilitas komponen biosensor dari waktu ke waktu. Hal ini penting untuk penggunaan jangka panjang dan hasil yang dapat diandalkan.
“Faktor-faktor seperti degradasi unsur biologis, hilangnya aktivitas enzim, atau perubahan sifat fisik bahan sensor dapat memengaruhi stabilitas biosensor,” tambah dia.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia