BMKG Resmikan Tower Pemantau Gas Rumah Kaca di Jambi

Reading time: 2 menit
BMKG meresmikan tower pemantau gas rumah kaca di Jambi. Foto: BMKG
BMKG meresmikan tower pemantau gas rumah kaca di Jambi. Foto: BMKG

Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus berupaya menekan emisi gas rumah kaca guna menahan laju perubahan iklim global. Salah satunya dengan pembangunan tower gas rumah kaca (GRK) beserta pos pemantauan GRK di sejumlah wilayah di Indonesia. Kini, BMKG kembali meresmikan tower pemantau gas rumah kaca di Jambi.

Langkah nyata ini juga sebagai bentuk dukungan BMKG untuk memberikan data yang lebih akurat dalam mewujudkan target Net Zero Emission tahun 2060.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, saat ini BMKG tengah mengembangkan program Global Greenhouse Gas Watch (G3W) dan Integrated Global Greenhouse Gas Information System (IG3IS). Tujuannya untuk menekan emisi dan serapan gas rumah kaca berdasarkan observasi dan sains terkini.

BACA JUGA: Efek Rumah Kaca; Mulailah dari Diri Sendiri dan Lingkungan Sekitar

“Implementasi kedua program tersebut kami wujudkan melalui pembangunan tower untuk mengamati gas rumah kaca. Hasilnya akan dilakukan perhitungan melalui model kimia atmosfer,” ungkap Dwikorita dalam peresmian tower pemantau gas rumah kaca 100 meter di Jambi, Kamis (18/7).

Program G3W dan IG3IS merupakan inisiasi program dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Tujuan pembentukan program tersebut untuk memantau dan melaporkan konsentrasi dan flux gas rumah kaca secara global. Sehingga, hasil pantauan itu dapat memberikan informasi komprehensif atas siklus GRK di atmosfer dan permukaan Bumi. Hal ini bisa membantu prediksi masa depan iklim di bumi dapat dilakukan dengan lebih baik lagi.

BMKG Pantau GRK di Enam Lokasi

Deputi Bidang Klimatologi, Ardhasena Sopaheluwakan menuturkan bahwa Tower GRK 100 meter di Jambi adalah tower kedua dengan ketinggian 100 meter. Tower ini merupakan perluasan jaringan pengamatan pada tower pertama di Bukit Kototabang, Sumatra Barat yang BMKG resmikan pada Maret 2023 lalu.

Hingga saat ini, BMKG telah memantau GRK di enam lokasi. Tiga dari enam lokasi itu sebagai daerah background atau menjadi pengamatan udara bersih yang jauh dari pengaruh aktivitas manusia. Wilayah tersebut meliputi Bukit Kototabang di Sumatera, Lore Lindu Bariri di Sulawesi, dan Sorong di Papua.

Dua lokasi yang tersisa sebagai representasi pengamatan daerah urban dilakukan di BMKG Pusat di Jakarta dan Cibeureum di Bogor. Sementara itu, di Muaro Jambi memiliki fungsi untuk pengamatan jangka panjang interaksi yang kuat antara atmosfer dan ekosistem hutan di Sumatra. Tower ini BMKG gunakan sebagai pengamatan daerah yang terdampak karhutla.

“Dengan peluncuran Tower 100 meter, pemantauan GRK terintegrasi di Jambi ini, BMKG berharap dapat berkontribusi signifikan dalam upaya nasional dan global untuk mengatasi perubahan iklim, mengurangi emisi GRK, maupun mendukung perencanaan pembangunan nasional berkelanjutan yang rendah karbon,” ungkap Ardashena.

BMKG mendukung penuh visi “Nusantara Baru untuk Indonesia Maju”. Mereka berkomitmen untuk terus mengembangkan infrastruktur dan teknologi pemantauan iklim dan gas rumah kaca yang canggih. Hal itu akan mereka wujudkan demi kesejahteraan bangsa.

Perubahan Iklim Kian Mengkhawatirkan

Fenomena perubahan iklim kini semakin mengkhawatirkan serta memicu dampak yang lebih luas. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim. Contohnya, suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi, hingga maraknya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia.

“Maka dari itu, perlu upaya lebih dan konsisten dari seluruh negara untuk menahan laju perubahan iklim tersebut,” katanya.

BACA JUGA: ReCORK, Koleksi Sepatu Berbahan Gabus Ramah Lingkungan

Dalam Global Risks Perception Survey (GRPS) 2024 oleh World Economic Forum, terungkap bahwa sebagian besar responden khawatir ancaman risiko cuaca ekstrem yang berimbas pada ketidakpastian global. Sebab, cuaca esktrem akan mengganggu rantai pasok barang dan sumber daya penting, makanan, serta energi.

Survei itu menunjukkan bahwa kekhawatiran akan cuaca ekstrem ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kekhawatiran terhadap misinformasi dan disinformasi akibat artificial intelligence (AI). Selain itu, polarisasi sosial dan politik, krisis biaya hidup, serangan siber, pelemahan ekonomi, dan lain sebagainya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top