Jakarta (Greeners) – Kawasan Bebas Sampah (KBS) adalah program pemerintah Kota Bandung yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2014-2018. Program ini menargetkan pengurangan sampah rumah tangga sebesar 30% pada 2025. Berkolaborasi dengan Forum Bandung Juara Bebas Sampah, program ini menjadi model percontohan guna meningkatkan partisipasi masyarakat melalui desentralisasi pengelolaan sampah.
Pada pelaksanaannya, KBS fokus pada pemilahan sampah dan pengolahan sampah di kawasan. Dengan demikian, hanya sampah jenis lainnya atau residu yang diangkut menuju tempat penampungan sementara (TPS).
“KBS merupakan indikator masyarakat berdaya. KBS menjadi aksi penting pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian lingkungan. Kegiatan ini juga berkaitan sekali dengan literasi lingkungan. (Kami) memerlukan metode edukasi yang tepat untuk menyampaikan kepada masyarakat agar tindakan yang mereka lakukan bukan hanya atas keterpaksaaan, melainkan juga dari kesadaran pribadi,” terang Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung, Kamalia Purbani pada forum diskusi virtual program KBS, Sabtu (03/10/2020).
Sejak dikembangkan pada 2015, Kota Bandung telah memiliki 143 KBS dan 467 bank sampah. Hingga saat ini, DLHK mengawal 1.583 Rukun Warga (RW) dengan pencapaian lebih dari 100 RW yang sudah zero waste.
“Prinsip yang paling penting untuk mewujudkan KBS adalah keterlibatan warga. Selanjutnya yang tidak kalah penting yaitu adanya kemandirian, efisiensi pengurangan sampah, pelestarian lingkungan dan keterpaduan kawasan,” lanjut Kamalia.
Baca juga: Hari Satwa Dunia, CTC Gaungkan Pelestarian Penyu
Ketua RW Apresiasi Kekompakan Warga
Terkait prinsip tersebut, perwakilan masyarakat di TPS3R RW 12 Kelurahan Maleer, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung menilai kerja sama antarwarga merupakan bagian dari potensi wilayah mereka. Mereka pun mengaku kegiatan pengelolaan dapat berjalan secara maksimal.
“Hal potensial di RW 12 ini adalah kegiatan edukasi dan pengembangan pupuk kompos. Edukasi nanti kaitannya terhadap kegiatan pengolahan di TPS, kalau edukasi ini nggak jalan maka beban operator di TPS semakin tinggi. Selain edukasi, kita konsen membuat kompos. Karena kita di tengah pemukiman, jadi fokus ke sampah organik,” tutur Jaya, Ketua RW 12 pada forum yang sama.
Jaya meneruskan, pihaknya juga melibatkan semua pemangku kepentingan. Mulai dari lurah, camat, dan satgas. Bahkan, lanjutnya, setiap kompos yang mereka hasilkan dari pengolahan sampah organik langsung dipromosikan di Kecamatan. Jaya pun mengklaim komposnya selalu habis terjual.
KBS juga mengusung jargon ‘Kang Pisman’ yang berarti ‘Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan’. Melalui slogan itu, diharap masyarakat akan lebih bertanggung jawab dengan setiap sampah yang mereka hasilkan.
“Selain Kang Pisman, sekarang ada yang namanya OTG, Organik Tower Garden. Di dalamnya terdapat sistem otomatis pengelolaan sampah dan sekaligus bisa untuk menanam sayuran. Ada juga Wasima, Wadah Sisa Makanan, yang memudahkan para ibu-ibu rumah tangga mengelola sampahnya sendiri dengan skala kecil ketika mereka tidak memiliki ruang-ruang untuk mengelola dengan cakupan lebih besar. Selain itu masih ada teknik biodegerster, Loseda, Lodong Sisa Dapur, serta yang unik juga yaitu metode bakteri,” ungkap Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Kota Bandung, Siti Muntamah.
Baca juga: Gali Inovasi Anak Muda, New Energy Nexus Indonesia Luncurkan Hackathon
Komitmen DLHK Bandung untuk KBS
Memantau perkembangan KBS yang dinilai kian memberi perubahan, DLHK Kota Bandung menyusun rencana jangka panjang, pendek dan menengah terhadap program tersebut.
DLHK Bandung menggaugkan efisiensi penggunaan material; desentralisasi penanganan sampah; penanganan sampah terpilah dan mengutamakan pengelolaan sampah untuk daur ulang; meminimalkan penggunaan material toxik pada proses produksi dan konsumsi. Lebih jauh, DLHK Bandung menargetkan transformasi KBS menjadi sistem yang terintegrasi dengan sistem pengelolaan sampah kota.
Guna mencapai target, DLHK Bandung membuat teknik operasional perencanaan RTSP (Rencana Teknis Satuan Pemukiman) untuk semua Kelurahan dan Kecamatan; melakukan identifikasi kebutuhan SDM; menyediakan tim pendamping khusus bagi setiap KBS; rutin melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan dari RTSP; mendorong aspek kelembagaan dengan mendorong regulasi serta legitimasi penyerahan kewenangan ke tingkat kelurahan; serta membantu menyusun pedoman dan memantau pelaksanaan teknis.
“Ini bukan pekerjaan mudah tetapi juga tidak susah, kita pasti bisa menjalankannya jika ada sebuah komitmen yang nyata,” tutup Muntamah.
Penulis : Zury Muliandari
Editor: Ixora Devi