Bertepatan dengan International Women’s Day, Hari Perempuan Internasional, Greeners mengajak kamu untuk berkenalan dengan beberapa tokoh aktivis lingkungan perempuan dari penjuru dunia, termasuk dari Tanah Air. Yuk, simak berikut ini!
Perempuan menanggung beban terbesar dari krisis pemanasan global. Menurut PBB, perempuan membentuk 80% orang yang terlantar karena perubahan iklim.
Di seluruh dunia, perempuan adalah pengasuh utama dan penyedia makanan dan bahan bakar. Ini membuat mereka lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Suara-suara perempuan sangat penting dalam perang melawan pemanasan global. Hal ini karena mereka melihat secara langsung dampak perubahan iklim pada komunitas mereka. Sehingga para perempuan dapat memberi respon yang sesuai dengan kondisi lingkungan saat ini; juga bagaimana cara manusia beradaptasi dan membuat perubahan yang lebih ramah lingkungan.
Dengan tenggat waktu 2030 untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB yang makin mendekat, penting saat ini untuk memberikan ruang yang sama bagi perempuan untuk berkontribusi menciptakan solusi, lebih dari sebelumnya.
Perjanjian Paris 2015 pun menyerukan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Faktanya, perempuan terkena dampak yang tidak proporsional dan dapat melakukan sejumlah pekerjaan yang luar biasa untuk menghadapi perubahan iklim.
Memperingati Hari Perempuan Internasional, inilah para aktivis lingkungan perempuan dari berbagai belahan dunia yang patut mendapat sorotan akan perjuangan dan dedikasi mereka untuk keberlanjutan global.
Vandana Shiva, India
Vandana Shiva adalah seorang pecinta lingkungan dari India yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mempertahankan keanekaragaman hayati.
Dia berkampanye melawan rekayasa genetika yang menjadi dampak negatif globalisasi dengan mendirikan Navdanya pada 1991.
Navdanya adalah sebuah lembaga penelitian yang bertujuan untuk melindungi keragaman dan integritas native seeds atau benih asli, sambil mempromosikan praktik perdagangan yang adil.
Pergerakannya ini menjadikannya tokoh kunci dalam memberikan tekanan pada Bank Dunia.
Selain itu, Siva juga memimpin kampanye internasional tentang hak makanan, serta gerakan global yang disebut Diverse Women for Diversity atau Beragam Perempuan untuk Keragaman. Majalah Time menyebut Dr. Shiva sebagai pahlawan lingkungan pada tahun 2003.
Swietenia Puspa Lestari, Aktivis Lingkungan Perempuan dari Indonesia
Berawal dari hobi menyelam, Tenia mendirikan Divers Clean Action, sebuah organisasi nirlaba pemuda yang bergerak dalam bidang lingkungan dengan fokus pada permasalahan sampah plastik di laut.
Dia mempelajari masalah konservasi laut dan mengambil peran sebagai fasilitator untuk mengembangkan masyarakat pesisir dan melakukan berbagai kampanye dan pelatihan terkait sampah laut.
Tenia juga menjadi pemrakarsa #NoStrawMovement atau Gerakan Tanpa Sedotan Plastik.
Isatou Ceesay, Gambia
Isatou Ceesay yang mendapat julukan “Ratu Daur Ulang,” adalah seorang aktivis Gambia yang memulai gerakan daur ulang ‘Satu Kantong Plastik’ di Gambia. Ceesay bekerja untuk mengedukasi warga tentang daur ulang dan mengurangi jumlah sampah yang tercipta.
Dia mendirikan proyek Women Initiative The Gambia (WIG) yang menciptakan benang tenun dari plastik dan membentuk tas dari limbah upcycled.
Proyeknya tidak hanya secara drastis mengurangi jumlah limbah di desanya, tetapi juga mempekerjakan ratusan wanita Afrika Barat dan memberi mereka pendapatan bulanan.
Kelompok ini juga telah mengumpulkan lebih dari 2.000 anggota di 40 komunitas yang berbeda di seluruh negeri.
Tak hanya itu, gerakan inisiasi Ceesay juga mendorong peralihan kebiasaan toko-toko lokal yang saat ini lebih memilih menggunakan kantong kertas daripada plastik yang menjadi polutan terbesar negara mereka.
Marina Silva, Aktivis Lingkungan Perempuan dari Brasil
Marina Silva adalah pejuang untuk Hutan Hujan Amazon di Brasil. Sebagai tokoh sentral dalam protes deforestasi di Brasil, Marina Silva membantu membangun cagar alam seluas 2 juta hektar; dan yang mengelolanya adalah komunitas tradisional.
Silva adalah rekan Chico Mendes, yang dibunuh karena membela hutan hujan pada tahun 1988. Dia dan Mendes memimpin demonstrasi pada 1980-an untuk melindungi hutan hujan dari kendali pemerintah.
Demonstrasi ini membuahkan hasil yaitu perlindungan ribuan hektar hutan tropis dan mata pencaharian ratusan keluarga dalam pemanfaatan karet.
Setelah pembunuhan Mendes, Silva menjadi politisi dan berjuang untuk perlindungan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial. Selama karier politiknya, deforestasi menurun 59% dari 2004 hingga 2007.
Tiza Mafira, Indonesia
Berkat petisi yang ia gagas, Tiza berhasil mendorong dua belas pemerintah daerah membuat kebijakan pembatasan kantong plastik sekali pakai di daerahnya masing-masing.
Sebagai Direktur Eksekutif dari lembaga swadaya masyarakat Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), ia juga dipercaya mendampingi daerah-daerah di Indonesia untuk membuat regulasi pembatasan kantong plastik.
Selain itu, Tiza juga terpilih menjadi salah satu Ocean Heroes 2018. Penghargaan tersebut ia dapatkan karena telah mengampanyekan pengendalian dan penghapusan plastik sekali pakai sejak tahun 2013.
Baca juga: Tiza Mafira: Pelopor Kebijakan Pembatasan Kantong Plastik Sekali Pakai
Rachel Carson, Amerika Serikat
Rachel Carson adalah penulis dari Silent Spring. Karyanya yang terkenal ini merupakan ekspos tentang salahnya informasi dalam industri kimia dan penggunaan pestisida sintetis, khususnya Dichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT).
Buku ini memacu revolusi lingkungan. Tema keseluruhan buku ini adalah kekuatan manusia dan efeknya yang sangat negatif terhadap alam.
Warisan abadi Carson menyebabkan pembentukan Badan Perlindungan Lingkungan di Amerika Serikat di bawah pemerintahan Nixon dan merintis pembahasan serius mengenai dampak manusia terhadap lingkungan.
Greta Thunberg, Aktivis Lingkungan Perempuan dari Swedia
Greta Thunberg adalah aktivis lingkungan berusia 17 tahun dari Swedia yang membawa dunia dengan gerakan Fridays for Future-nya.
Bermula dari Agustus 2018, Greta menghabiskan hari-hari sekolahnya di depan parlemen Swedia. Ia menyerukan akan perlunya tindakan yang lebih kuat dalam menghadapi perubahan iklim dengan memegang papan berisi tulisan “Skolstrejk för klimatet” (mogok sekolah untuk iklim).
Citranya menjadi viral, membuat Greta dapat berbicara di hadapan para pemimpin dunia dalam Forum Ekonomi Dunia, Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa; dan juga Komite Pemilihan Perwakilan Rakyat AS tentang Krisis Iklim.
“The Greta Effect” telah menginspirasi para pecinta lingkungan muda di seluruh dunia, dan telah membawa krisis iklim global menjadi perhatian publik.
Penulis: Agnes Marpaung.
Sumber: