Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melepasliarkan 4.605 kura-kura moncong babi (Carretochelys insculpta) di hutan adat Kampung Nayaro, Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Ribuan kura-kura moncong babi tersebut merupakan hasil penyisihan tukik di penangkaran CV. Alam Nusantara, Timika, untuk keperluan restocking.
Restocking merupakan upaya pelestarian sumber daya alam dengan cara melepasliarkan satwa perairan ke habitat alaminya. Hal itu untuk meningkatkan populasi satwa di alam, pemanfaatan sumber daya perairan, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Satwa restocking berasal dari hasil penangkaran, sama halnya seperti kura-kura moncong babi ini.
BACA JUGA: Lestarikan Satwa Liar: Dua Orang Utan Dilepasliarkan di TNBKDS
Kura-kura moncong babi merupakan spesies yang dilindungi undang-undang. Hal itu tercantum pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 tahun 2018. Kura-kura ini juga masuk dalam kategori spesies vulnerable atau rentan dalam daftar merah IUCN.
Satwa yang juga terkenal dengan sebutan pig-nosed turtle ini merupakan spesies kura-kura air tawar yang endemik di beberapa bagian Papua, Papua Nugini, dan Australia bagian utara. Berdasarkan hasil pemantauan selama proses habituasi, satwa tersebut menunjukkan catatan yang cukup baik dalam beberapa indikator kesiapan untuk dilepasliarkan.
Pilih Lokasi Alami dan Jauh dari Masyarakat
Pascapelepasliaran, tim yang bertugas akan melakukan monitoring. Pemantauan ini sangat penting, untuk mendapatkan mendapatkan data-data.
Seluruh data tersebut nantinya bisa memudahkan pemantauan terkait sejauh mana keberhasilan program pelepasliaran. Data itu juga dapat pemerintah gunakan sebagai bahan evaluasi dan pengambilan langkah-langkah kebijakan penting ke depan dalam penyempurnaan program.
Di samping itu, Kepala Balai Besar KSDA Papua, A.G. Martana mengungkapkan, ribuan kura-kura tersebut telah menjalani pemeriksaan oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Mimika. Semua kura-kura dalam keadaan sehat dan siap dilepasliarkarn ke habitat alaminya.
“Untuk lokasi lepas liar, kami pilih di hutan adat Kampung Nayaro. Sebab, letaknya relatif jauh dari masyarakat dan kondisinya masih alami sehingga dapat menunjang kehidupan semua satwa yang dilepasliarkan. Selain itu, masyarakat adat di Kampung Nayaro juga memberikan dukungan, termasuk dalam hal perlindungan satwa satwa liar di alam. Ini menjadi faktor penting dalam upaya pelestarian satwa-satwa liar dilindungi,” ungkap Martana.
Ribuan Kura-kura Hasil Penetasan dari Tahun 2021
Sementara itu, Direktur CV. Alam Nusantara, Dani Gunalen menyampaikan bahwa 4.605 kura-kura moncong babi tersebut merupakan hasil penetasan dari izin kumpul tahun 2021-2023. Seluruh telur yang terkumpul, hanya setengahnya yang berhasil menetas.
Dalam proses perawatannya, sering juga tukik mengalami kematian. Meskipun Dani adalah sosok berpengalaman dalam hal penangkaran kura-kura, tetapi hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan penangkaran. Selain penangkaran kura-kura moncong babi di Timika, ia juga memiliki penangkaran kura-kura endemik Indonesia yang terancam kepunahan di Jakarta.
BACA JUGA: BKSDA Kalbar Selamatkan Bayi Orang Utan Tanpa Induk
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik (KKHSG), Nunu Anugrah, menyampaikan pelepasliaran ini merupakan bukti nyata bahwa konservasi ex-situ dapat mendukung konservasi in-situ, atau dengan sebutan lainnya yaitu ex-situ linked to in-situ program.
“Kami berharap, pelepasliaran kura-kura moncong babi ini dapat mendukung kelestarian dan peningkatan populasi satwa tersebut pada habitat aslinya. Upaya yang telah CV. Alam Nusantara lakukan ini sesuai dengan mandat peraturan perundangan yang berlaku, bahwa salah satu kewajiban unit penangkaran adalah melaksanakan restocking atau pelepasliaran sebagian hasil pembesarannya (ranching),” ujarnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia