Jakarta (Greeners) – Barisan kendaraan bermotor memenuhi jalanan Gatot Soebroto. Dalam kepul asap dan bising suara kendaraan bermotor, seseorang memesan makanan kepada pedagang yang berdagang di atas trotoar. “Pecel lele satu ya, Bu,” ucapnya dengan logat Jawa yang kental.
Pria yang bernama Bagus itu sedang menginap di Hotel Crown, Jakarta. Beberapa hari ini, komunitas tempatnya bernaung, komunitas Hysteria, didaulat menjadi salah satu pengisi materi dalam acara Climate Week yang diselenggarakan di hotel tersebut. Pada Kamis (08/10) malam, Greeners bertemu dengan Bagus dalam obrolan santai.
Komunitas Hysteria adalah sebuah komunitas asal Semarang. Bagus menceritakan bahwa komunitas ini adalah komunitas yang bergerak di akar rumput. Dalam artian, Hysteria terjun langsung dalam menangani permasalahan yang ada di masyarakat, khususnya masyarakat Semarang. Menurut Bagus, Hysteria bukanlah komunitas yang turun pada masyarakat setelah adanya masalah, namun lebih pada tindakan preventif yang bertujuan menyadarkan masyarakat.
“Kita datang ke kampung-kampung, terus kita tanyakan apa kebutuhan mereka. Lalu kita bikin program sesuai dengan kebutuhan mereka,” jelas lelaki berusia 34 tahun ini.
Sama halnya dengan kota besar yang lain, Semarang menurut Bagus juga memiliki permasalahan-permasalahan sosial yang sering kali menjadikan rakyat kecil sebagai korban. Bagus menyebutkan lima kampung tua di Semarang yang diubah menjadi hotel atau pusat perbelanjaan. Padahal, kampung-kampung tersebut memiliki nilai historis tersendiri karena menjadi saksi bisu kehidupan di Semarang. Warga yang sebelumnya menempati kampung-kampung tersebut harus pindah karenanya.
Bagus juga menyebutkan bahwa perhatian pemerintah kota terhadap situs-situs bersejarah di Semarang sangatlah kurang. Program pemerintah kota yang memusatkan pembangunan tanpa melihat konteks budaya dan historis, sebut Bagus, hanya akan menjadikan Semarang menjadi kota ahistoris. Menurutnya, jika pemerintah kota saja telah melupakan jati dirinya, masyarakat pun akan semakin terpuruk dengan keadaan tersebut.
“Enggak masalah kita bodoh, tapi kita harus peka dan sadar terhadap hal vital di sekitar kita,” tegas lelaki bernama lengkap Oktavianto Bagus Prakoso ini.
Dengan keadaan demikian, Hysteria pun terjun langsung pada masyarakat. Program yang dibuat pun berdasar pada kebutuhan masyarakat tersebut. Ia mencontohkan adanya program pengajaran bahasa Inggris dan bahasa Jawa pada anak-anak di beberapa daerah perkampungan Semarang. Menurutnya, dengan mengajarkan bahasa Inggris, anak-anak secara tidak langsung dipersiapkan untuk menghadapi perdagangan bebas. Bahasa Jawa yang menjadi identitas anak-anak Semarang diajarkan dengan harapan agar mereka tetap mengingat akar budayanya, di mana pun mereka berada kelak.
“Kita tidak dapat terus melawan pembuat kebijakan, tapi lebih menguatkan masyarakat agar nantinya dapat memenuhi dan mengurus kebutuhannya sendiri,” ujarnya.
Tiga Pengurus
Bagus mengisahkan bahwa Hysteria adalah sebuah komunitas yang didirikan oleh sekelompok mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang. Berdiri pada 11 September 2004, awalnya Hysteria adalah sebuah komunitas yang mengkritisi keadaan kampus. Nama Hysteria sendiri dipilih karena istilah tersebut dapat diartikan sebuah teriakan yang menjadi lambang perlawanan.
Meskipun didirikan oleh para mahasiswa, Hysteria mampu membuka diri terhadap semua golongan, dari mahasiswa, seniman hingga orang biasa. Bagus sendiri adalah seorang yang tidak merasakan pendidikan tinggi . “Saya keluar sekolah waktu kelas dua SMP, mas,” ujarnya.
Setelah 11 tahun berdiri, lanjut Bagus, Hysteria masih belum dapat dikatakan sebuah komunitas yang besar. Pasalnya kepengurusan inti hanya dipegang oleh tiga orang saja. Menurut Bagus, turun langsung menangani masyarakat memang tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Ia pun menganggap wajar ketika beberapa kawannya di Hysteria lebih memilih untuk menjadi ‘orang normal’. Dua orang lagi yang menjadi pengurus inti dari Hysteria adalah Akhmad Khairudin dan Purna Cipta Nugraha. Keduanya menjabat sebagai Direktur dan Manager Progam dari hysteria.
Dengan kepengurusan yang hanya tiga orang, tak jarang pengurus Hysteria harus merangkap tugas ganda. Bahkan terkadang mereka meminta kawan-kawannya untuk membantu acara atau program yang akan dilakukan. “Kita kan masing-masing punya jaringan personal,” tutur Bagus.
Bukan hanya terhambat oleh kuantitas anggota, sering kali Hysteria juga memiliki hambatan dalam masalah keuangan. Bahkan pernah suatu kali Hysteria mengadakan program hanya dengan bekal uang Rp 15 ribu saja. Meskipun demikian, program berupa bedah dan diskusi buku itu akhirnya tetap terlaksana. “Karena enggak ada air minum, jadi kita belikan semangka,” kisah Bagus sambil tertawa.
Ketika diminta untuk mendeskripsikan secara singkat mengenai komunitas Hysteria, Bagus pun menjawab,”Kami adalah pemuda yang terus ingin berkarya untuk Semarang,” katanya.
Penulis: TW/G37